TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah secara terus-menerus menggencarkan vaksinasi Covid-19. Stok vaksin terus didatangkan dari luar negeri. Meski stok yang ada, tidak sebanding dengan antusias masyarakat untuk memperoleh vaksin.
Tapi tak sedikit pula yang masih tergabung dalam kaum antivaksin. Mereka menolak vaksin dengan berbagai alasan. Mulai dari alasan yang sifatnya agama, seperti vaksin tidak halal, hingga yang sifatnya terdengar sepele: masih divaksin kok masih kena Covid-19?
Dilansir dari laman litbang.kemkes.go.id, masih banyak masyarakat yang meragukan efektifitas dan keampuhan vaksin COVID-19. Beberapa diantaranya bahkan menolak untuk diberi vaksin.
Padahal, Kepala UPT Puskesmas Linggang Bigung, dr. Beny, sudah meyakinkan bahwa vaksin COVID-19 aman dan sudah teruji melalui penelitian.
“Jangan sampai masyarakat tidak mau vaksin hanya gara-gara mendengar berita yang tidak benar, jika mengalami keraguan tanyakan langsung ke petugas kesehatan yang lebih tahu tentang vaksinasi,” kata Beni seperti dikutip oleh Tempo dari laman kutaibaratkab.go.id, Selasa 29 Juni 2021.
Guru Besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan UGM, Prof. dr. Moh. Hakimi, Sp.OG(K)., Ph.D, merespons fenomena ini dalam acara Raboan Online CBMH FK-KMK UGM yang membahas tema “COVID-19 Vaccine: Ethics and Infectious Disease”.
Dilansir dari laman ugm.ac.id, Hakimi memaparkan model health belief yang menjelaskan bahwa seseorang yang dilibatkan dalam kegiatan promosi kesehatan, dalam hal ini vaksinasi, dipengaruhi oleh persepsi keseriusan masalah yang dihadapi, persepsi kerentanan, persepsi manfaat dan hambatan, dan persepsi ancaman.
Selain itu, pertimbangan orang dalam melaksanakan vaksinasi juga dipengaruhi oleh modifying variable yang terdiri dari variabel demografi seperti kelas sosial, gender, usia, serta karakteristik psikologi seperti kepribadian dan peer group pressure.
Hakimi kemudian memberikan strategi yang menurutnya perlu dilakukan agar dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya vaksinasi COVID-19.
Menurutnya, perlu adanya pemberian penjelasan terkait keseriusan dari COVID-19 dan dampaknya, serta manfaat yang didapatkan dari vaksinasi. Hal ini penting dilakukan mengingat saat ini banyak beredar informasi palsu yang tidak disikapi secara hati-hati sehingga dapat mempengaruhi persepsi masyarakat. Karena itu, informasi palsu yang beredar perlu segera dikonfirmasi kebenarannya.
Hakimi juga memaparkan tentang bioetika penyakit infeksi, dalam hal ini yaitu COVID-19, yang dalam perspektif penyakit menular seperti Corona pasien tidak hanya menjadi korban, tetapi juga dapat menularkan penyakit ke orang lain. “Jadi, ada kewajiban moral pasien penderita penyakit infeksi terhadap orang lain,” katanya seperti dikutip oleh Tempo dari laman ugm.ac.id, Kamis 21 Januari 2021.
Sehingga, yang dibutuhkan dalam vaksinasi adalah menjembatani kesenjangan antara bioetika dan kesehatan masyarakat tradisional. Dalam tataran praktik, perlu adanya perhatian lebih banyak dalam aspek kerahasiaan dan privasi, informed consent, dan paternalisme.
NAUFAL RIDHWAN ALY
Baca juga: 6 Vaksin Sudah Mendarat di RI, Pahami Perbedaan Efikasi dan Efektivitas Vaksin