TEMPO.CO, Jakarta - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan pandemi COVID-19 telah memperburuk kondisi kesehatan mental dunia dan menciptakan krisis global untuk kesehatan mental jangka pendek dan panjang. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan lebih dari 19 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami gangguan mental emosional dan lebih dari 12 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami depresi.
Berdasarkan survei, Populix menyimpulkan masalah finansial (59 persen) dan kesepian (46 persen) merupakan faktor utama yang memicu munculnya gejala-gejala gangguan kesehatan mental.
"Berbagai masalah seperti kondisi perekonomian yang tidak menentu, rasa kesepian setelah sekian lama menjalani pembatasan sosial, tuntutan pekerjaan, hingga permasalahan hubungan yang timbul di masa-masa transisi endemi ini tentunya turut mempengaruhi kesehatan mental banyak orang," kata salah satu pendiri dan COO Populix Eileen Kamtawijoyo.
Survei dilakukan terhadap 1.005 laki-laki dan perempuan berusia 18-54 tahun di Indonesia dan terangkum dalam laporan “Indonesia’s Mental Health State and Access to Medical Assistance”. Ia menyatakan survei menunjukkan 52 persen masyarakat, terutama perempuan berusia 18-24 tahun, menyadari memiliki gejala gangguan kesehatan mental, baik dalam bentuk gejala ringan maupun berat. Mayoritas para responden juga menyadari telah mengalami gejala tersebut dalam enam bulan terakhir.
Gejala gangguan kesehatan mental
Hasil survei menemukan perubahan suasana hati yang cepat adalah gejala yang paling sering dialami 57 persen responden dalam enam bulan terakhir, diikuti perubahan kualitas tidur atau nafsu makan (56 persen), rasa lelah yang signifikan, energi menurun (42 persen), ketakutan atau kegelisahan yang berlebihan (40 persen), bingung, pelupa, sering marah, mudah tersinggung, cemas, kesal, khawatir, dan ketakutan yang tidak normal (37 persen).
Gejala lain adalah kehilangan kemampuan untuk berkonsentrasi (35 persen), penarikan diri dari lingkungan sosial (30 persen), serta ketidakmampuan untuk mengatasi stres atau masalah sehari-hari (26 persen). Beberapa responden juga merasakan gejala dalam tingkat yang lebih parah seperti mengalami nyeri yang tidak dapat dijelaskan (13 persen), marah berlebihan dan rentan melakukan kekerasan (10 persen), berteriak atau berkelahi dengan keluarga dan teman-teman (9 persen), ingin melukai diri sendiri (9 persen), dan mencoba bunuh diri (6 persen).
Dari berbagai gejala gangguan kesehatan mental tersebut, survei memperlihatkan sebagian responden mengalami gejala-gejala tersebut setidaknya 2-3 kali dalam seminggu (42 persen). Bahkan, 16 persen responden menyatakan mengalami gejala tersebut setiap hari. Apabila terus dibiarkan, gejala-gejala tersebut dapat berpotensi mengganggu aktivitas dan produktivitas sehari-hari, bahkan dalam kasus yang lebih parah, mengancam keselamatan jiwa seseorang.
Faktor pemicu dan cara mengatasi
Masalah finansial (59 persen) dan merasa kesepian (46 persen) merupakan faktor utama yang memicu munculnya gejala-gejala gangguan kesehatan mental tersebut. Selain itu, masih ada juga beberapa faktor lain seperti tekanan pekerjaan (37 persen), trauma masa lalu (28 persen), tekanan dari pasangan (17 persen), tinggal di lingkungan yang buruk (13 persen), serta mengalami diskriminasi dan stigma (10 persen).
Untuk mengurangi gejala gangguan kesehatan mental yang dirasakan, 73 persen masyarakat mengatakan akan lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, menjaga kecukupan tidur dan istirahat (55 persen), rekreasi (46 persen), melakukan aktivitas fisik agar tetap aktif (36 persen), bercerita kepada sahabat (34 persen), menjaga hubungan baik dengan orang lain (32 persen), membantu orang lain dengan tulus (27 persen), dan melakukan meditasi (19 persen).
Di tengah meningkatnya berbagai akses dan layanan kesehatan mental akhir-akhir ini, survei menunjukkan 69 persen masyarakat yang mengalami gejala gangguan kesehatan mental tidak pernah menggunakan layanan tersebut karena berbagai alasan. Beberapa alasan utama yang mereka sampaikan adalah tidak perlu untuk berkonsultasi (45 persen), meyakini bisa mencari jalan keluar sendiri (42 persen), biaya mahal (41 persen), dan malu bercerita kepada orang tidak dikenal (33 persen).
Sebagian masyarakat juga mengaku mereka tidak tahu adanya layanan kesehatan mental (27 persen). Selanjutnya, dari 31 persen masyarakat yang pernah mencoba layanan kesehatan mental mengatakan mencoba layanan tersebut karena mudah diakses (63 persen), tenaga kesehatannya mempunyai kemampuan berkomunikasi yang baik (59 persen), biaya terjangkau (57 persen), mempunyai reputasi pelayanan yang baik (47 persen), serta mengikuti rekomendasi dari teman, keluarga, pemengaruh (37 persen).
Tipe layanan kesehatan jiwa yang dipilih adalah konsultasi dengan psikolog/psikiater di klinik kesehatan terdekat (61 persen), mengakses telemedisin melalui aplikasi daring (54 persen), bergabung dengan komunitas sosial yang peduli dengan kesehatan mental (38 persen), dan konsultasi dengan pemuka agama (36 persen).
"Selain meratakan akses terhadap fasilitas dan dukungan kesehatan mental, edukasi dari berbagai pihak juga masih diperlukan guna menghapus stigma negatif terhadap gangguan kesehatan mental,” tutur Eileen.
Berbagai kenyataan dari survei di atas diharapkan bisa menjadi referensi dan memotivasi untuk lebih peduli pada kesehatan mental dan memiliki kesadaran penuh untuk memperbaiki dan meningkatkan kesehatan jiwa.