TEMPO Interaktif, Jakarta: Tidak terasa ada suatu yang "lain" bagi Asih, 27 tahun (bukan nama tulen), dengan kehamilannya. Dia tidak merasa gejala khusus yang merujuk pada sebuah gangguan. Rasa aman itu buyar ketika dokter kandungannya memberi kabar bahwa janinnya mengidap aritmia. Artinya, irama denyut jantung si kecil berbeda dengan yang lazimnya karena mencapai 204-210 detak per menit. Dua kali lipat irama jantung normal, yakni 120-160 detak per menit.
"Janinnya terkena tachy arrhythmia pada usia tujuh bulan atau 35 minggu," kata spesialis obstetri dan ginekologi Rumah Sakit Ibu dan Anak Brawijaya, Dr Nurwansyah SpOG--yang menangani Asih--saat ditemui Tempo di ruang prakteknya, Senin lalu. Gangguan jantung berupa aritmia ini tergolong langka terjadi pada janin. Di Indonesia, prevalensi aritmia pada janin yang terdeteksi hanya sebanyak 1 persen. Adapun penyebab janin menderita aritmia, kata dia, bisa dipicu karena ibu yang mengkonsumsi minuman beralkohol dan kopi dalam jumlah tinggi.
Jenis kelainan denyut jantung ini umumnya dua tipe, yakni tachy arrhythmia dan brady arrhythmia. Yang terakhir ini menunjukkan kondisi sebaliknya, yakni denyut jantung lebih lambat. Nurwansyah menjelaskan, vonis tachy arrhythmia diberikan manakala denyut jantung menetap di atas 160 detak per menit selama 24 jam.
Nurwansyah menyatakan bila kondisi tersebut diabaikan, akan muncul dampak yang tidak menguntungkan bagi janin. "Jantungnya dapat gemetar dan terus berdenyut hingga mencapai titik lemah, dan akhirnya berhenti. Otot-otot sekitar jantung mengalami keletihan," ia menambahkan. Selain itu, asupan darah dari jantung ke seluruh jaringan tubuh akan tidak maksimal, sehingga terjadi penimbunan darah di tubuh janin. "Kalau kronis, bisa juga berakibat cairan di tubuh janin merembes ke jaringan tubuh lain."
Bila sampai pada titik kronis, janin akan membengkak karena penumpukan cairan di perutnya. Namun, hal tersebut tidak terjadi di lambung, melainkan di rongga perut. Dalam beberapa kasus, penumpukan cairan juga terjadi dalam rongga paru-paru dan membuatnya tak berkembang. "Kejadian ini disebut hydrops fetalis," ujar dokter yang ramah ini. Di jagat medis, hydrops fetalis diartikan terkumpulnya cairan dalam tubuh manusia minimal dalam dua ruang. Bisa di rongga paru maupun perut dan kulit.
Baca Juga:
Sayangnya, gejala awal aritmia tidak ada, sehingga si ibu pun tak merasa apa pun. Padahal, lazimnya aritmia terjadi saat jantung janin sedang tumbuh dan berkembang. Untuk mengenalinya, umumnya dokter akan memasang alat doppler guna mendengar denyut jantung yang sangat cepat. Kalau ditemukan iramanya tidak normal, si janin akan diperiksa lewat ultrasonografi (USG)--untuk melihat dengan jelas pola gerakan otot jantungnya, sekaligus melihat ada atau tidaknya kelainan pada jantung.
Saat menangani kasus Asih, Nurwansyah melakukan cara noninvasi, dengan memberikan obat jantung untuk menurunkan denyut jantung janinnya. Lalu ia menunggu si janin hingga ke tahap viable--sudah bisa lahir hidup. "Saya menunggu hingga dua minggu--usia hamil lebih dari 36 minggu--sebelum melakukan operasi caesar," kata dokter yang didapuk sebagai ketua tim dalam penanganan kasus Asih ini.
Pasca-persalinan, bayi dirawat di ruang perawatan intensif untuk diobservasi. "Di situ dilihat irama, facemaker, dan denyut jantung normal atau tidak," ujarnya. Beruntung hingga kini buah hati Asih yang dioperasi sekitar dua pekan lalu itu dalam keadaan stabil.
Nurwansyah menyebutkan, kejadian aritmia dapat terjadi pada janin di usia kehamilan triwulan 1-3. Tetapi penanganan akan berbeda bila diketahui pada triwulan 1 dan 2, karena janin belum bisa dilahirkan. Pada tahap ini janin harus diterapi, baik dengan cara invasi maupun noninvasi. "Noninvasi dilakukan dengan memberi obat digitalisasi lewat ibu. Sedangkan invasi, (janin) diberi obat suntik lewat jarum suntik ke dalam pembuluh darah tali pusar janin," ia menjelaskan.
Menurut Nurwansyah, penanganan medis itu dapat menyembuhkan janin dengan aritmia hingga 80 persen. "Namun, harus sesuai dengan tata laksana kedokteran," ujar Nurwansyah. Saat menangani kasus Asih, dokter yang berdomisili di Jakarta Barat ini didampingi spesialis kandungan subspesialis fetomaternal (kelainan janin), spesialis jantung anak, spesialis anak konsultan jantung, dan spesialis anak konsultan perinatologi.
HERU TRIYONO