TEMPO.CO, Jakarta - Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut tuberkulosis atau TBC masuk dalam 10 penyakit penyebab kematian tertinggi di dunia. Diperkirakan terdapat 969 ribu orang dengan TBC di Indonesia dan sekitar 75 persen di antaranya telah dilaporkan ke Kementerian Kesehatan di 2022.
Terkait hal itu, sejumlah organisasi sosial masyarakat dan pemangku kepentingan yang terdiri dari Rumah Kebangsaan, Medco, Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI), Stop TB Partnership Indonesia (STPI), dan Perkumpulan Alumni Harvard University di Indonesia (Harvard Club Indonesia), menyelenggarakan Arifin Panigoro (AP) Dialog ke-6 dengan tema “Satukan Langkah, Stop TBC di Tempat Kerja”, di Jakarta, Selasa, 25 Juli 2023. Pembicara kunci adalah Muhadjir Effendy, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI, Budi Gunadi Sadikin, Menteri Kesehatan RI, dan Ida Fauziyah, Menteri Ketenagakerjaan RI.
AP Dialog seri ke-6 ini bertujuan untuk menginformasikan pentingnya mencegah penularan tuberkulosis di tempat kerja. Kelompok usia yang paling banyak terinfeksi TBC adalah usia produktif 15-54 tahun yang merupakan tenaga kerja. Data dari Kemenkes juga menemukan jenis pekerjaan yang paling banyak terinfeksi TBC Sensitif Obat (SO) adalah buruh (54.800), petani (51.900) dan wiraswasta (44.200). Sementara TBC Resisten Obat (RO) diduduki oleh wiraswasta (751), buruh (635), dan pegawai swasta, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) (564). Faktanya pekerja yang mengalami TBC akan kehilangan pekerjaan dan pendapatan rata-rata selama 3-4 bulan.
Muhadjir menyampaikan sambutannya melalui deputi bidang koordinasi peningkatan kualitas kesehatan dan pembangunan kependudukan Kemenko PMK, Yohanes Baptista Satya Sananugraha, "Indonesia saat ini menjadi negara dengan jumlah kasus TBC terbanyak kedua di dunia setelah India atau 354 kasus dari 100.000 penduduk mengakibatkan 144.000 kematian atau setara 52 kematian per 100.000 penduduk. Permasalahan TBC bukan hanya sekedar menanggulangi kesakitan yang ditimbulkan melainkan juga penanganan masalah sosial dan ekonomi yang ditimbulkan agar dapat berhasil pengobatan TBC ini.”
Sebagai informasi, saat ini Indonesia telah memiliki Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2022 tentang Penanggulangan Tuberkulosis di Tempat Kerja untuk menjadi payung hukum bagi pekerja yang mengalami TBC agar tidak mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara sepihak oleh perusahaan. Permenaker tersebut menjadi dasar bagi seluruh perusahaan dalam menghilangkan stigma dan diskriminasi bagi pekerja yang positif TBC serta upaya untuk bisa terus memberdayakan mereka agar tetap produktif sesuai kondisi.
Para pekerja dan perusahaan tidak perlu khawatir terkait pembiayaan pengobatan TBC karena sudah disediakan gratis di puskesmas dan rumah sakit pemerintah sehingga apabila terdapat yang positif TBC sangat disarankan untuk melakukan pengobatan di fasilitas kesehatan milik pemerintah terdekat.
Stigma dan diskriminasi
Sementara itu, Menkes menjelaskan TBC penyakit menular seperti Covid-19 tapi menyebabkan kematian lebih dari Covid-19. “Saat ini 245.000 orang dengan TBC belum ditemukan. Artinya penularan terus terjadi. TBC tidak bisa ditangani sebagai program oleh Kemenkes. Penanganannya membutuhkan gerakan dan harus inklusif, termasuk oleh sektor swasta dan di tempat kerja, sesuai tema dialog malam ini.”
Senada, Ida Fauziah menyebut, "Sebagai upaya mengeliminasi TBC di tempat kerja, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan oleh segenap pihak terkait, terutama dalam mengatasi stigma dan diskriminasi. Stigma terkait penyakit ini membuat perusahaan maupun pekerja merasa malu dan menghambat akses perawatan dan pencegahan TBC. Oleh sebab itu, yang harus dilakukan sekarang adalah sinergi dari semua stakeholder untuk mengatasi TBC.”
Nurul H. W. Luntungan, Ketua Yayasan STPI, menjadi moderator dalam diskusi panel bersama Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan dan Direktur Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan Keselamatan Kerja. Mengakhiri sesi diskusi dan tanya jawab dengan peserta dialog, Nurul menggarisbawahi, “Saat ini Pemerintah telah menetapkan kebijakan untuk penanggulangan TBC di sektor kesehatan maupun ketenagakerjaan. Namun, para pemimpin dunia usaha juga perlu mengetahui besarnya masalah TBC di Indonesia dan mengambil andil untuk memutus mata rantai penularan di lingkungan kerja."
Hadir pula dalam acara tersebut Melli Darsa, Presiden Harvard Club Indonesia (HCI). Ia mengatakan TBC merupakan salah satu penyakit yang perlu ditanggulangi dengan serius, termasuk di tempat kerja, karena memiliki potensi penyebaran yang masif dan dapat mempengaruhi kesehatan dan produktivitas, bahkan keberlanjutan perusahaan.
"Penanggulangan TBC di tempat kerja bukan hanya tentang meningkatkan produktivitas atau mendukung manusia Indonesia yang sehat demi mewujudkan Visi Indonesia Emas 2045, tetapi lebih dari itu karena kesehatan adalah bagian tak terpisahkan dari hak asasi manusia. Untuk itu, jelas setiap pelaku industri harus mengedepankan kesadaran dan kesehatan para karyawan, termasuk dalam pencegahan dan penanggulangan TBC di lingkungan kerja,” jelas Melli, lewat rilis yang diterima Tempo.
Lebih lanjut, ia mengajak seluruh komponen bangsa untuk berkontribusi dalam memberikan solusi
terhadap berbagai permasalahan bangsa, salah satunya TBC. Ia berharap HCI dapat menjadi mitra kolaborasi dan motor penggerak putra dan putri terbaik dalam memberikan solusi terhadap masalah-masalah strategis bangsa agar cita-cita Indonesia Emas 2045 dapat terwujud.
“Indonesia Emas 2045 diawali dengan manusia Indonesia yang sehat. Ini menjadikan TB sebagai isu strategis nasional yang solusinya membutuhkan pendekatan holistik mencakup formulasi kebijakan, tindakan preventif dan kuratif, serta pendidikan yang luas. HCI mengajak seluruh pihak dan insan terbaik Indonesia untuk turut untuk berkontribusi dan bahu-membahu menuntaskan TBC di Indonesia,” jelas Melli.
Pilihan Editor: Cegah Penularan, Pasien TBC akan Disediakan Tempat Karantina