TEMPO.CO, Jakarta - Isu polusi udara sedang menjadi perhatian utama masyarakat akhir-akhir ini. Berbagai media memberitakan soal polusi udara yang bisa mengakibatkan buruknya kesehatan. Netizen di sosial media pun semakin sering membagikan bagaimana udara Jakarta yang terlihat di langit dari pesawat udara. Berbagai indikasi polusi udara dan himbauan itu ternyata belum membuat warga Jakarta mengubah kebiasaan untuk mengutamakan proteksi diri.
Penelitian yang dilakukan Health Collaborative Center (HCC) pada 1843 warga Jakarta menunjukkan indeks health belief atau pemaknaan warga Jakarta terhadap isu polusi udara dan potensi perilaku melindungi diri ternyata masih rendah. Peneliti Utama HCC Ray Wagiu Basrowi mengatakan penelitian dengan pengukuranself-care behaviour warga Jakarta sejak awal Agustus 2023 menunjukkan bahwa warga Jakarta sangat tahu ada polusi udara di Jakarta tetapi mereka tidak bisa melihat, tidak merasakan dampak buruk dan belum melihat bukti nyata bahwa polusi udara itu benar-benar terjadi di Jakarta dan telah menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan warga.
Baca juga:
"Mereka sudah melihat dan mendengar dari berita soal polusi udara di Jakarta, namun mereka masih enggan pakai masker atau lakukan perlindungan diri," kata Ray pada 24 Agustus 2023.
Ray, dalam pemaparannya, Kamis 24 Agustus 2023 mengatakan secara konsep pemaknaan kesehatan, pola pikir dan kebiasaan yang masih tertanam bagi warga Jakarta ini sangat tidak menguntungkan dalam kebijakan kesehatan. Alasannya polusi udara di Jakarta itu benar dan sudah keadaan genting. "Dampak kesehatannya pasti ada, baik jangka pendek maupun jangka panjang, tapi sayangnya secara konsep pemaknaan atau health belief model, warga Jakarta belum memaknai ini sebagai bahaya sehingga belum secara mandiri ingin melindungi diri,” ungkap Ray yang merupakan chief-editor di The Indonesian Journal of Community and Occupational Medicine (IJCOM) ini.
Analisis lanjutan dari penelitian HCC ini menemukan bahwa sebagian besar warga Jakarta, atau sebanyak 65 persen warga Jakarta, bahkan berpotensi untuk tidak berniat melindungi diri dari polusi udara, dan potensinya itu besarannya hingga 10 kali lipat. "Hal ini disebabkan belum ada pemaknaan mendasar bahwa polusi udara itu seperti apa wujudnya di Jakarta dan seserius apa dampaknya bagi kesehatan dan kualitas hidup warga," kata Ray.
Penelitian tersebut juga menyebutkan bahwa 1 dari 2 warga Jakarta mengetahui isu atau berita ada polusi udara dari media, namun sebanyak 32 persen warga Jakarta tidak memahami dengan jelas informasi polusi udara (terutama dari media). Dampaknya adalah 29 persen dari warga Jakarta itu tidak bisa melihat bukti nyata ada polusi udara yang parah terjadi di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi serta kota besar di Indonesia.
Ray menilai bahwa penting sekali agar publik lebih paham soal dampak polisi terhadap kesehatan masing-masing. “Hal ini menjadi aspek potensi intervensi dalam mengoptimalkan pemahaman tentang dampak polusi dan terutama mengerti bahwa paparan gas beracun dan partikel halus dari polusi udara bisa sangat mudah terjadi dan memberi efek negatif baik jangka pendek maupun jangka panjang," kata pemilik akun Instagram @ray.w.basrowi ini.
Ia berharap informasi soal perlindungan diri yang perlu dimiliki masyaraka tidak hanya disampaikan melalui media. "Tetapi juga komunikasi berbasis komunitas," lanjutnya.
Penelitian Health Belief Model yang dilakukan peneliti dr Ray bersama Peneliti Pendamping Yoli Farradika MEpid ini dilakukan dengan model cross-sectional dan menggunakan instrument self-care behaviour kuesioner secara online yang tervalidasi, memiliki tingkat kepercayaan 95 persen dan margin of error 2,28. Ray mengklaim pola penelitian itu bisa mewakili kondisi pemaknaan dan potensi perilaku yang sebenarnya dari warga Jakarta.
Tim peneliti HCC, kata Ray, merekomendasikan dari hasil penelitian ini agar dilakukan revisit model edukasi dan penyebaran informasi ke masyarakat. "Pastikan bahwa pesan ‘ada polusi udara di Jakarta’ dengan Bahasa kongkrit dan terus menerus," katanya.
Perlindungan terhadap warga harus makin intensif dan masif, karena warga yang tidak punya pemahaman penuh tentang polusi udara di Jakarta akan terus beraktivitas seperti biasa. "Untuk warga Jakarta yang tetap harus bekerja, mitigasi di lingkungan kerja serta perlidungan pekerja yang perlu akses transportasi akan meningkatkan potensi paparan polutan," katanya.
Ray menekankan bahwa perlindungan pekerja harus segera dan mendesak dan pemerintah perlu melanjutkan strategi menurunkan kadar polusi udara Jakarta. "Bbaik dari emisi kendaraan bermotor maupun aktivitas industri," katanya.
Pilihan Editor: Pesan Viral Polusi Udara Jakarta Mengandung Amuba, Ini Kata Dinas Lingkungan Hidup dan Kesehatan