TEMPO.CO, Jakarta - Potret warganet yang menyukai konten receh dan selera humor rendah berkolerasi dengan tingkat literasi, selera yang mengantarkan para pembuat konten receh (PKR) menjadi selebritas media sosial lalu menjadi tamu dan bintang di televisi yang turut merecehkan diri.
Menjadikan konten receh sekadar sebagai sebuah hiburan menurutnya tidak masalah. Tetapi kalau dosisnya kelewatan, berlebihan, dan tidak diaplikasikan secara tepat, ini berpotensi menjadi gangguan psikologis atau setidaknya mengganggu relasi interpersonal.
Mudahnya konten receh menjadi viral terkait selera humor warganet sebagai pembuat, penikmat, dan penyebarnya. Apalagi media televisi turut memberi panggung bagi para PKR dengan mengekspos konten yang mereka buat, maka racun receh itu makin menyebar liar.
Bagaimana pun tingkat literasi masyarakat turut mempengaruhi tinggi rendahnya selera humor atau selera seni dalam konteks yang lebih kompleks. Secara lebih rinci, berikut sejumlah faktor yang berkontribusi membentuk selera humor:
Usia
Bayi memiliki selera humor yang sangat receh, digoda dengan candaan “ciluk baa…” saja sudah terkekeh-kekeh, bahkan ketika diulang-ulang masih terkekeh juga. Seiring bertambahnya usia “ciluk baa” tidak lagi lucu baginya dan selera humornya akan terus meningkat. Namun pada lansia, gaya guyonan akan kembali seperti anak-anak.
Baca juga:
Pendidikan
Pendidikan yang baik mampu membangun kerangka pikir dan nalar sehingga ia akan selektif menerima informasi, termasuk humor, yang perlu ditanggapi atau diabaikan.
Kecerdasan
Orang cerdas selera humornya tinggi, ia lebih suka candaan yang cerdik. Reaksi yang ditampilkannya bukan tertawa terbahak-bahak melainkan tawa tergelitik. Peneliti dari Austria yang dimuat dalam jurnal Personality and Individual Differences menemukan orang-orang yang lucu, terutama mereka yang menyukai humor gelap atau lelucon yang agak sarkas dan pedas, biasanya memiliki IQ yang lebih tinggi daripada yang tak punya selera humor.
Penelitian memaparkan otak mereka memproses informasi secara kognitif maupun emosional dengan lebih baik ketika menanggapi humor. Mereka yang punya selera humor tinggi juga lebih baik dalam kecerdasan verbal dan nonverbal.
Kepribadian
Setiap orang punya kepribadian berbeda dengan gaya bercanda yang berbeda pula, baik dalam melontarkan atau menerima lelucon. Orang yang mudah cemas cenderung memilih humor “aman” tanpa menyerang pihak tertentu sehingga tidak suka mendengar humor gelap. Sedangkan yang punya sifat tegas dan berani cenderung senang mendengar maupun melontarkan guyonan bersifat kritis dan agresif.
Perspektif
Ada orang yang dicela malah tertawa, ada pula yang diajak bercanda malah murka karena tersinggung. Itu terjadi karena pengaruh perspektif masing-masing orang. Orang berperspektif positif, diserang dengan olokan pun dia mampu memberi umpan balik yang menyenangkan. Sementara orang dengan perspektif gelap (negatif) akan merespons lelucon dengan sikap tak terduga.
Lingkungan pergaulan
Corak pergaulan akan mengasuh pola pikir dan materi candaan yang berkembang. Lelucon garing akan ditertawakan bila dilontarkan dalam pergaulan kalangan kelas atas. Sebaliknya, candaan cerdik akan sepi respons ketika dibawa ke tengah masyarakat rendah literasi. Kalau terbiasa dengan lelucon recehan, turunkan standar lingkungan agar kamu dipuja sebagai guyonan bermutu atau naikkan standar lingkungan dan belajarlah candaan yang cerdas.
Pilihan Editor: Sulit Berpikir Positif? Coba Nonton Humor, Cek 3 Cara Lainnya