TEMPO.CO, Jakarta - Sebuah penelitian beberapa waktu lalu menunjukkan sesuatu yang mengkhawatirkan dalam gangguan makan di antara individu di bawah usia 17 tahun. Menurut penelitian yang dirilis Trilliant Health pada Maret 2023 lalu itu, kunjungan kesehatan terkait gangguan makan meningkat hampir dua kali lipat dari 50.000 pada 2018 menjadi 100.000 pada 2022.
Satu masalah signifikan terletak pada keterlambatan diagnosis beberapa gangguan ini. Misalnya, perilaku pilih-pilih makan yang sering kali dianggap sepele oleh orang tua. Namun, jika perilaku ini terus berlanjut dan meningkat menjadi kondisi ketika tekstur, rasa, bau, atau penampilan makanan tertentu memicu stres dan kecemasan yang hebat. Hal ini mungkin merupakan indikasi Avoidant Restrictive Food Intake Disorder (ARFID).
Apa itu ARFID?
Dikutip dari Times of India,Kepala Kesehatan Truworth Wellness, Madhura Laxman, menjelaskan bahwa ARFID adalah suatu kondisi yang ditandai dengan pembatasan asupan makanan. Tidak seperti gangguan makan lainnya yang didorong oleh self-image negatif atau keinginan untuk mengubah berat badan, ARFID terutama dipicu oleh ketakutan dan kecemasan seputar makanan atau potensi konsekuensi dari makanan tersebut, misalnya tersedak.
Kecemasan atau rasa jijik yang terkait dengan rasa, tekstur, bau, atau tampilan makanan menyulitkan pengidapnya untuk mengonsumsi makanan yang bervariasi dan seimbang. Selain itu, penurunan berat badan yang parah, kurang nafsu makan, periode menstruasi yang tidak normal, kram atau nyeri perut, sembelit, kurang fokus, kadar zat besi yang rendah, atau pusing dapat menjadi beberapa faktor umum yang dapat dialami oleh individu dengan gangguan ARFID.
Apa penyebab ARFID?
Penyebab pasti ARFID tidak sepenuhnya jelas, namun kombinasi faktor genetik, psikologis, sensorik, dan lingkungan diyakini berkontribusi terhadap perkembangannya. Beberapa individu dapat memiliki kecenderungan genetik terhadap masalah pemrosesan sensorik, sehingga membuat mereka lebih rentan terhadap keengganan terkait tekstur dan rasa makanan. Pengalaman traumatis terkait makanan, seperti tersedak akibat makan makanan tertentu saat masa kanak-kanak juga dapat memicu ARFID.
ARFID dapat menimbulkan konsekuensi serius pada kesehatan fisik karena terbatasnya jenis makanan yang dikonsumsi. Kekurangan nutrisi, seperti kurangnya asupan vitamin, mineral, dan zat gizi makro dapat menyebabkan malnutrisi, keterlambatan tumbuh kembang, melemahnya sistem kekebalan tubuh, dan masalah pencernaan.
Mengenali dan memahami dampak ARFID sangat penting karena berdampak pada gaya hidup seseorang dengan mempengaruhi tingkat nutrisinya. Ini mengembangkan kebutuhan dari pendekatan multidisiplin yang perlu melihat sejumlah faktor seperti mengatasi kepekaan sensorik, pengalaman negatif, dan tantangan emosional yang dihadapi oleh seseorang yang mempengaruhi kebiasaan makan mereka.
Hal ini dapat mencakup terapi seperti terapi exposure, terapi yang berfokus pada trauma, terapi perilaku kognitif, atau terapi perilaku dialektis, yang dapat membantu pengidap mengatasi faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat nutrisi dan sistem kekebalan mereka.
“Memasukkan konseling nutrisi ke dalam rencana pengobatan sangat penting untuk memastikan individu memenuhi kebutuhan dietnya dan secara bertahap memperkenalkan makanan baru. Dalam beberapa kasus, penggunaan teknik rantai makanan, yang melibatkan perubahan kecil dan bertahap pada pilihan makanan, dapat membantu memperluas selera seseorang," saran Laxman.
"Dianjurkan untuk berkonsultasi dengan tim profesional kesehatan, termasuk spesialis kesehatan mental dan ahli gizi, yang dapat memberikan dukungan terbaik bagi individu dalam perjalanan menuju pemulihan.”
Pilihan Editor: 7 Jenis Gangguan Makan dan Cara Mengenali Gejalanya