TEMPO.CO, Jakarta - Bagaimana anak-anak terkena dampak kekerasan, kehilangan, dan kekacauan akibat perang? Cara berguna memahami dampak perang terhadap anak-anak adalah melalui kacamata yang disebut toxic stress.
Ini mengacu pada stres intens dan berkepanjangan, berasal dari ancaman terus-menerus terhadap keselaman fisik atau psikologi anak, dikutip Psychology Today.
Dalam situasi ekstrim, laman sama menyebut, ancamannya mungkin terhadap kelangsungan hidup mereka. Saat ancaman terus-menerus terjadi dan intens, kita menyebut stres yang ditimbulkannya sebagai toxic stress.
Masalah stres muncul ketika ancaman terhadap kesejahteraan kita, terutama terhadap kelangsungan hidup kita, bersifat terus-menerus dan tidak berlangsung sebentar. Pada situasi seperti itu, tubuh tetap berada dalam keadaan waspada terus-menerus. Tidak ada penonaktifan respon stres, tidak ada penghentian hormon stres yang membanjiri tubuh kita.
Lambat laun, hal tersebut bisa berdampak buruk pada kesehatan fisik dan psikologis kita. Fungsi kekebalan tubuh kita menurun, dan kita menjadi rentan terhadap sejumlah penyakit. Sementara secara psikologis, kita mungkin kelelahan, cemas, depresi, marah, dan menunjukkan tanda-tanda trauma.
Anak-anak sangat rentan terhadap dampak toxic stress karena, tidak seperti orang dewas, mereka memiliki lebih sedikit sumber daya untuk mengelola ancaman terhadap kesejahteraan mereka. Sumber toxic stress yang paling banyak dipelajari pada anak-anak adalah pelecehan dan penelantaran anak.
Terperangkap dalam situasi ancaman terus-menerus, tanpa tempat aman, tanpa sumber kenyamanan dan kepastian yang dapat diandalkan, anak-anak yang dianiaya dan diabaikan mungkin akan terus-menerus berada dalam keadaan waspada, dengan hormon-hormon stres yang membanjiri tubuh mereka saat masih kecil.
Perang sebagai Pengalaman Toxic Stress
Dihimpun dari Psychology Today, dalam banyak penelitian tentang dampak perang terhadap anak-anak, fokus utamanya adalah gangguan stres pascatrauma (PTSD). Tentu saja, tingkat PTSD di antara anak-anak di zona perang, tidak mengherankan, jauh lebih tinggi daripada anak-anak yang tinggal di lingkungan damai.
Akan tetapi, PTSD hanyalah salah satu manifestasi dari toxic stress yang berhubungan dengan perang. Laporan ini gagal menangkap dampak buruk yang diakibatkan oleh tekanan konflik bersenjata yang terus-menerus terjadi. PTSD memfokuskan perhatian kita pada reaksi terhadap peristiwa spesifik dan menakutkan seperti ledakan, menyaksikan pembunuhan atau melukai orang yang kita cintai, dan penghancuran rumah.
Ini merupakan kejadian umum serta menakutkan di masa perang, dan PTSD dapat menjadi diagnosis yang berguna serta relevan. Tapi yang gagal ditangkap ialah dampaknya terhadap tubuh dan pikiran anak-anak karena lingkungan yang penuh dengan berbagai ancaman terus-menerus.
Banyak di antaranya tidak seperti drama peluru dan bom, namun kemiskinan ekstrem, kelaparan kronis, malnutrisi, dan dehidrasi, kurangnya perlindungan dari cuaca buruk, perpisahan dari keluarga besar, teman dekat, serta hewan peliharaan tercinta. Sementara para orang tua yang ketakutan dan stres, yang kapasitasnya memberi kehangatan dan ketenangan sangat berkurang, serta tidak dapat memberi rasa aman yang sangat dibutuhkan anak-anak mereka.
Penyebab stres semacam ini berdampak pada anak-anak dengan cara yang melampaui kriteria diagnostik PTSD yang sempit, mewarnai setiap aspek pengalaman psikologis, sosial, dan spiritual mereka. Itu adalah situasi anak-anak di Gaza saat ini, sama halnya dengan anak-anak di zona perang lainnya di seluruh dunia.
Tidak diragukan lagi, ketika kekerasan di Gaza mereda dan keluarga-keluarga bisa memulai proses membangun kembali kehidupan mereka, akan ada penelitian yang mendokumentasikan prevalensi PTSD di antara anak-anak Palestina yang selamat dari pemboman berkepanjangan dan penghancuran rumah serta komunikasi mereka, kehilangan orang-orang yang mereka cintai, dan teman-teman.
Akan tetapi penelitian-penelitian tersebut tidak sepenuhnya menangkap dampak buruk terhadap kesehatan mental dan kesejahteraan psikososial anak-anak yang disebabkan ancaman terus-menerus, toxic stress, yang mereka alami dalam perang brutal dan berkelanjutan itu.
Untuk memulihkan dampak toxic stress yang terus-menerus dialami anak-anak di Gaza, kekerasan harus diakhiri dan keamanan harus dibangun kembali. Akses terhadap makanan, air, tempat tinggal, dan layanan kesehatan harus segera dipulihkan. Anak-anak perlu kembali ke struktur dan rutinitas sekolah yang bisa diprediksi. Sedangkan orang tua memerlukan dukungan untuk mengatasi stres, trauma, dan kesedihan mereka sendiri.
Sejumlah penelitian sudah mendokumentasikan ketahanan anak-anak Palestina terhadap kesulitan kronis. Dan pengalaman mereka saat ini yang mengalami stress ekstrem sama sekali tidak membuat mereka hidup dalam kesusahan atau kecacatan.
Pilihan editor: Ketahui Apa Itu Toxic Stress yang Bisa Sangat Menyakitkan Bagi Anak-anak