TEMPO Interaktif, Gondo. Sebut saja begitu namanya. Lelaki berusia 35 tahun itu langsung histeris ketika melihat tempe. Ia meminta agar tempe tersebut dijauhkan. Ketakutan lelaki berbadan subur itu terhadap tempe sudah berlangsung lama, sejak berumur 7 tahun. Suatu malam, ia memimpikan tempe raksasa menindihnya. Padahal, sebelumnya ia sangat senang makan tempe.
Itu hanyalah salah satu dari begitu banyak kisah orang yang mengalami ketakutan berlebihan terhadap sesuatu. Ada yang takut pada ketinggian, takut pada peniti, takut pada kupu-kupu, ruang sempit, dan sebagainya. Juga ada yang takut pada kata-kata. Dulu, ada sebuah kasus di Amerika, ketika seorang perempuan langsung pingsan ketika mendengar kata "sex".
Bahkan ada jenis fobia yang berkaitan dengan Valentine. Situs metrolic.com pekan lalu merilis 10 jenis fobia yang berkaitan dengan hari kasih sayang itu. Beberapa di antaranya adalah ketakutan pada lilin (keriophobia), takut pada lambang hati (cardiophobia), takut pada puisi (metrophobia), takut pada cokelat(xocolatophobia), takut pada bunga (antophobia), dan takut disentuh (aphephobia).
Tiap manusia memang memiliki rasa takut. Bisa takut pada hewan, takut miskin, takut gelap, atau takut gagal. Namun, jika takut pada hal-hal sederhana dan berlangsung terus-menerus, ini sudah merupakan gangguan psikologis alias fobia.
Menurut Dr Surjo Dharmono, SpKJ, koordinator psikiatri komunitas dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, fobia termasuk bagian dari gangguan cemas (anxietas). Biasanya fobia itu muncul sejak kecil. Jika ketakutan itu muncul setelah dewasa, bisa jadi bukan fobia. "Mungkin stres pascatrauma atau anxietas (kecemasan)," ujar dia.
Menurut Surjo, ada tiga jenis kelompok fobia, yakni agoraphobia, phobia simple, dan social phobia. Agoraphobia meliputi ketakutan pada situasi, ruangan, atau kondisi yang sulit. Misalnya takut pada ruang terbuka atau takut pada ruang sempit. Phobia simple adalah ketakutan pada benda khas atau hewan. Misalnya takut ular atau takut bunga. Sedangkan social phobia adalah ketakutan pada situasi sosial seseorang yang menjadi pusat perhatian. Misalnya takut berbicara di depan umum dan takut keramaian.
Penyebab ketiga jenis fobia itu beragam, tak merujuk pada satu sebab. "Tergantung obyek atau situasi yang ditakuti," kata Surjo. Ia menyatakan ada beberapa penyebab fobia, yakni pola asuh, trauma, pembelajaran yang salah, dan pengalaman buruk, misalnya bencana alam. Karena trauma terhadap situasi saat orang ramai menyelamatkan diri, seseorang bisa takut pada keramaian.
Pola asuh atau proses pembelajaran yang salah juga bisa menyebabkan fobia. "Orang tua yang takut kucing (ailurophobia), misalnya, bisa membuat anaknya takut pada kucing juga." Artinya, fobia bisa berakar pada ketakutan saat masa kecil karena salah asuh atau salah belajar.
Untuk mengatasi fobia ini, menurut Surjo, diperlukan terapi perilaku. Terapi ini disebut desensitisasi atau terapi paparan bertahap. Caranya dengan memaparkan obyek yang ditakuti secara bertahap agar seseorang itu bergaul dengan yang ditakutinya. Terapi ini bisa pula dilakukan untuk anak, tapi harus pelan-pelan.
NUR ROCHMI | MUS