TEMPO Interaktif, Jakarta -Tidak sedikit masyarakat yang sudah mengetahui apa itu sidrom autisme. Kesulitan dalam berkomunikasi, emosi yang tidak stabil, single interest, dan melakukan kegiatan yang berulang-ulang, serta sulit bertatap mata adalah gejala umum dari karakter autis. Sedangkan dalam bentuk fisik, penyandang autisme sering mempunyai mimik yang datar, ada juga yang memiliki anatomi telinga yang letaknya lebih kebawah. Dan kelahiran penyadang autis semakin meningkat tajam setiap tahunnya di seluruh dunia.
“Di Indonesia prevalensi kasus autis sebelum tahun 2000 adalah 1 per 1000 kelahiran dan setelah tahun 2000 menjadi 7 sampai 8 per 1000 kelahiran,” ujar Dr Andreas Harry, SP.S yang ditemui di acara pemutaran film Love Me As I Am (Buah Hati) pada Jumat di Restoran South Beauty, Sudirman Jakarta. Acara ini untuk menyambut dan memperingati Hari Autis Internasional pada 2 April besok.
Menurut Rusidi, orang tua dari penyandang autis, mengatakan gejala awal anaknya cukup membingungkan beberapa dokter. Muklis (12 tahun), anak Rusidi, memiliki gejala kepala yang berukuran lebih besar dari anak kebanyakan serta anggota badan yang tidak bisa digerakan. “Sudah bisa berjalan dan menggerakan tubuhnya saat usia 5 tahun. Dokter pun saat itu masih bingung apa penyakit anak saya,” kata Rusidi.
Andreas menjelaskan autis tidak lagi digolongkan dalam suatu jenis penyakit. Autisme hanya sindrom yang disebabkan oleh adanya perbedaan struktur anatomi pada otak seseorang dan bukanlah kecacatan pada otak. Seperti layaknya Albert Einstein yang belakangan diketahui adalah seorang autis, pemilik dari sidrom ini memang mempunyai potenis tersendiri.
“Semakin lebarnya spectrum autism ini maka ahli pendidikan, ahli terapi, dan perilaku sangat dibutuhkan untuk menemukan cara spesifik terbaik dalam menuntun pembelajaran bagi penyandang autisme secara personal,” ungkapnya.
Penanganan bagi penyandang autis, lanjut Andreas, dapat disederhanakan dengan 5 pendekatan yaitu (1) mendengarkan saja apa yang diceritakan, (2) mendengarkan sambil meng-iya-kan apa yang diceritakan, (3) mendengarkan sambil membantu penyelesaian permasalahan yang diceritakan, (4) mendengarkan sambil menentak, dan (5) mendengarkan sambil menyalahkan seseorang yang sedang menceritakan berbagai masalah psikologi itu. RENNY FITRIA SARI/HP