TEMPO Interaktif, Jakarta - "Mbaaaakkk...ambilin minum!" teriak Tara, putri sulung presenter kondang, Becky Tumewu. Saat itu si mbak, pembantu rumah tangga mereka pun bergegas mengambilkan air minum.
Kebetulan saat itu Becky melihat kejadian tersebut. Tak langsung memarahi Tara, Becky hanya memandangi anak itu. Seketika itu juga Tara paham bahasa tubuh ibunya dan langsung meralat ucapannya. "Mbak, minta tolong ambilin air minum," ujarnya. Begitu pembantu datang, Tara pun serta-merta mengucapkan terima kasih.
Becky tersenyum melihat perilaku anaknya itu. Ia memang sudah sering mengingatkan Tara untuk menghargai si mbak pembantu di rumah. Biasanya Becky akan mengajak bicara dua putrinya--Tara dan Kayla--untuk membicarakan segala sesuatu. Becky juga sesekali memperlihatkan bahasa tubuh jika tak setuju dengan tindakan putri-putrinya itu.
Becky Tumewu menceritakan kejadian itu seusai peluncuran audio book Talk-Inc, Point for Parent. Kata-kata minta tolong dan terima kasih dinilai sering terlupakan sebagai upaya untuk menghormati atau menghargai orang lain. Sekelumit pengalaman ini dituangkan Becky dalam audio book yang baru diluncurkan itu. Audio book ini keluar menyusul buku Talking Point, yang keluar tahun lalu.
"Lewat audio book ini kami ingin mengingatkan para orang tua," ujar Becky di sela peluncuran CD tersebut baru-baru ini.
Audio book berdurasi 50 menit ini dikemas ringan dengan model talk show antara pengajar Talk Inc, Alexander Sriewijono, Becky Tumewu, dan Erwin Parengkuan.
Audio book ini berisi pengalaman ketiganya berkomunikasi dengan buah hati mereka tentang berbagai hal. Terutama menyangkut tata krama, sopan santun, toleransi, bersyukur, berinteraksi dengan orang lain, atau mengungkapkan perasaannya.
Kejadian kecil semacam pengalaman Becky di atas sering luput dari perhatian orang tua sehingga anak bertingkah sembarangan, menyepelekan, dan tidak menghormati orang lain. Kesibukan orang tua membuat mereka sering tak menyadari perkembangan anak dan interaksinya dengan orang lain.
Orang tua sering dibuat terkejut ketika pembantu atau sopir melaporkan anak berbicara kasar atau main pukul kepada mereka. Ada juga anak menjadi penyela pembicaraan atau bicara tanpa menatap lawan bicara. Beruntung jika sopir atau pembantu bisa menjadi bagian komunikasi di keluarga tersebut.
Erwin Parengkuan mengatakan masalah yang dominan muncul antara anak dan orang tua adalah tidak adanya komunikasi terbuka. Tak hanya antara anak dan orang tua, tapi juga antara anak dan orang-orang di sekitarnya, seperti pembantu, sopir, saudara, serta nenek.
Jika tak diingatkan tentang perilaku, tata krama, dan sopan santun, anak akan bertindak semaunya. Lama-lama anak akan sulit diatur dan tidak menghargai orang lain.
"Anak jadi manja, egoistis, tidak toleran, dan tidak mensyukuri sesuatu hanya karena kita mengiyakan atau tidak bertindak tegas terhadap mereka," ujar Erwin.
Menurut dia, topik yang diperbincangkan ini cukup praktis untuk memberi tips dan strategi kepada orang tua, terutama terhadap anak-anak berusia 6-12 tahun. Namun, menurut pengalaman bapak empat anak ini, usia 4-7 tahun adalah usia paling riskan. Sebab, anak dalam masa peralihan dan keinginan mereka mengeksplorasi sesuatu sangat besar.
Penyiar radio ini juga menyinggung teror yang sering dilakukan anak. Seperti saat si kecil merengek-rengek ketika diajak ke mal atau "memeras" orang tua untuk membelikan mainan. Anak akan mencoba menguji kedua orang tuanya agar permintaannya terkabul.
"Ini sering dilakukan. Jika tak mempan ke ibu, dia akan lari ke ayahnya. Karena itu, orang tua harus konsisten dan tegas," ujar pria berlesung pipi ini.
Becky, Alex, dan Erwin pun berusaha untuk mengarahkan anak dengan jalan yang positif dan membesarkan kepercayaan diri anak. Mereka pun tak segan-segan menerapkan hukuman dan hadiah untuk buah hatinya.
"Pernah si sulung saya hukum seminggu tidak boleh ke luar rumah, tapi lain kali saya juga beri apresiasi membeli lukisan dia dan menjanjikan pameran," ujarnya.
Psikolog Kassandra Putranto menguatkan apa yang dijelaskan Becky dan Erwin. Menurut dia, menerapkan aturan keluarga tentang tata krama dan sopan santun harus dibiasakan sejak dini. Dengan demikian, anak akan menyerap apa yang diajarkan orang tua. "Sejak usia dua tahun mungkin sudah bisa, ya, seperti menyapa, menyalami," ujar Kassandra.
Mengajarkan dan menerapkan tata krama memang tak mudah dan butuh konsistensi. Menurut dia, untuk menerapkannya pun kadang terjadi penggabungan satu konsep dengan konsep yang lain serta butuh waktu dan bertahap. Tentunya disesuaikan dengan usia anak.
Menurut Kassandra, jika hal ini diajarkan kepada anak usia 10 tahun, akan semakin sulit diterapkan. "Karena dia tidak punya konsep dasar, tak biasa diatur, jadi kaget," ujarnya.
Mengajarkan hal-hal demikian, kata Kassandra, tak bisa sekadar diucapkan. Sebab, anak butuh role model dan contoh dari orang tuanya. Contohnya, saat anak diminta bicara sopan, tapi orang tuanya tetap bicara kasar. Orang tua juga harus memberi alasan saat melarang suatu tindakan.
Penyampaian pesan dan komunikasi orang tua kepada anak juga harus elegan, mudah ditangkap anak, tapi tidak menggurui. Orang tua tetap harus dekat dengan anak dengan peran sebagai orang tua.
Sandra J. Bailey, PhD CFLE, spesialis pengembangan manusia dan keluarga dari Universitas Montana, mengatakan komunikasi yang positif akan mempererat hubungan keluarga.
Dia menyebutkan komunikasi nonverbal dan bahasa tubuh bisa membantu membangun hubungan. Dalam mengelola komunikasi, keluarga bisa memanfaatkan berbagai cara, seperti telepon seluler, jadwal acara keluarga, atau meninggalkan catatan tertentu.
Orang tua juga bisa berinteraksi dengan anak saat acara keluarga dengan diskusi atau acara santai. "Sambil mengajarkan, tidak memotong pembicaraan, menjadi pendengar, tidak berteriak, dan sebagainya," ujarnya.
Keluarga juga bisa memanfaatkan waktu saat makan bersama di meja makan untuk saling berinteraksi. Orang tua harus cerdik meluangkan waktu untuk anak-anak mereka.
DIAN YULIASTUTI | MSUEXTENSION.ORG | THEPARENTSZONE.COM