TEMPO.CO, Jakarta - Anak Indonesia belum terlindungi dan terpenuhi hak haknya. Mereka masih belum mendapatkan pendidikan layak, rentan terhadap diskriminasi dan kekerasan.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010, prevalensi balita yang mengalami kurang gizi 17,9 persen yang terdiri dari 4,9 persen gizi buruk dan 13 persen gizi kurang. Di bidang pendidikan, menurut data Profil Anak Indonesia 2011, masih ada 8,12 persen anak usia 5-17 tahun yang berstatus tidak sekolah, dan sebesar 9,30 persen belum pernah mengecap pendidikan.
Secara sosial, anak-anak Indonesia juga masih mengalami kerentanan dari berbagai tindak kekerasan, perdagangan, eksploitasi dan diskriminasi. Hasil Survei Pekerja Anak Tahun 2009 menunjukkan masih terdapat sekitar 4,1 juta anak usia 5-17 tahun yang bekerja.
Sementara itu, data Survei Tenaga Kerja Nasional (Sakernas) Agustus 2010 menunjukkan terdapat 3,2 juta anak berusia 10-17 tahun yang bekerja, dan tersebar di seluruh provinsi.
Anak anak bahkan belum memperoleh akte kelahiran sebesar 15,47 persen sehingga rentan mengalami diskriminasi, tidak memiliki akses terhadap pelayanan dasar pendidikan dan kesehatan, rawan menjadi korban perdagangan manusia, mudah dijadikan pekerja anak, rawan menjadi korban kejahatan seksual, dan lain-lain.
Sejalan dengan ratifikasi Konvensi Hak Anak Internasional (United Nations Concention of the rights of the child) oleh pemerintah, pihak swasta mengambil inisiatif perlindungan anak.
Salah satunya,membentuk Asosiasi Perusahaan Sahabat Anak Indonesia (APSAI) sebagai wadah sinergi, percepatan upaya perlindungan anak dan memastikan peran sektor swasta di Indonesia.
Inisiasi pembentukan APSAI dilakukan pada Juni 2011 pada penyelenggaraan Konferensi Internasional ke-2 Kota Layak Anak tingkat Asia Pasific di Solo. Menurut ketua APSAI, Luhur Budijarso, salah satu kegiatan APSAI tahun 2012 adalah pemberian Anugerah Pelangi bagi perusahaan layak anak Indonesia.Yakni, berupa penghargaan dan sertifikasi perusahaan layak anak yang akan diberikan kepada perusahaan atau pelaku bisnis.
Pada 2 Mei, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Meneg PP-PA) Linda Amalia Sari meresmikan, terbentuknya asosiasi yang merupakan inisiatif pihak swasta untuk ikut berperan dalam pemenuhan hak anak di Hotel Dharmawangsa.
“Ini bukti kepedulian dan komitmen pihak swasta terhadap pemenuhan hak anak dan peningkatan kualitas sumberdaya manusia Indonesia sejak anak usia dini,’’ ujar Linda.
Ia menambahkan, asosiasi ini satu-satunya di dunia dan nantinya diharapkan bisa menjadi sumber inspirasi bagi para pemegang keputusan.
Pada peresmian itu juga diselenggarakan diskusi panel membahas perlindungan hak anak di Indonesia, dengan juru bicara Prof Irwanto, PhD dari Pusat Kajian Perlindungan Anak, FISIP Universitas Indonesia, dan Angela Kerney dari Perwakilan UNICEF di Indonesia.
EVIETA FADJAR