TEMPO.CO, Jakarta - Seiring dengan berkembangnya pengetahuan dan teknologi seputar makanan dan minuman, masyarakat semakin memperhatikan efek dari makanan ataupun minuman yang mereka konsumsi terhadap kesehatan. Salah satu yang marak di
bahas adalah sensasi ‘krenyes’ di lidah dari minuman bersoda atau lebih dikenal dengan minuman berkarbonasi.
Menindaklanjuti pemaparan hasil studi literatur Southeast Asia Food & Agricultural Science & Technology (SEAFAST) Center dari IPB beberapa waktu lalu, ASRIM (Asosiasi Industri Minuman Ringan) mendatangkan beberapa pakar diskusi bersama untuk membahas efek karbonasi pada minuman terhadap kesehatan manusia.
Hadir sebagai pembicara, Dr. Puspo Edi Giriwono (Peneliti dari SEAFAST Center), Prof. Dr. Made Astawan (Ahli Gizi dan Pakar Teknologi Pangan), dan Dr. dr. Ari Fahrial Syam, SpPD-KGEH., MMB (pakar gastroenterologi).
Suroso Natakusuma, Sekretaris Jenderal ASRIM mengatakan, asosiasi menaungi industri minuman ringan ini perlu beri pemahaman tentang minuman bekarbonasi, terutama terkait dengan banyaknya kesimpang-siuran informasi diterima masyarakat melalui internet atau obrolan dari mulut ke mulut seputar karbonasi (soda) dan efek-nya bagi kesehatan.
"Ini bentuk tanggung jawab kami terhadap industri, pemahaman penting bagi
para konsumen untuk menentukan pilihan yang berdasar pada informasi berlandaskan bukti ilmiah," kata dia.
Metodologi Systematic Review SEAFAST Center, IPB melakukan studi literatur secara sistematik terhadap referensi dari berbagai publikasi (jurnal) ilmiah di seluruh dunia.
Metode berbasis Systematic Review, dimana para peneliti memasukan kata kunci berkaitan dengan karbonasi pada minuman dan efeknya terhadap kesehatan ke dalam search engine atau database yang melacak artikel-artikel ilmiah, untuk kemudian secara spesifik dikerucutkan pada berbagai hasil studi klinis terhadap manusia selama 10 tahun terakhir di negara-negara dengan tingkat konsumsi minuman berkarbonasi tinggi.
Prof. Dr. Made Astawan menjelaskan, karbonasi merupakan proses dari karbon dioksida (CO2) yang dimasukkan ke dalam cairan dengan tekanan tinggi, sehingga menghasilkan gelembung dalam minuman dengan cita rasa “menggigit” atau “krenyes”.
Karbon dioksida pada proses karbonasi,sama dengan gas alam dikeluarkan saat bernafas dan dihirup oleh tanaman saat proses respirasi. Penggunaan CO2 dalam minuman telah dimulai sejak abad ke-18 di Inggris.
"Metode ini kemudian diaplikasikan oleh para produsen minuman ringan berperisa untuk menciptakan sensasi sparkle dan segar. CO2 (karbon dioksida) merupakan bahan yang aman digunakan pada produk minuman," kata Made.
Hasil kajian JECFA (Join Expert Committee on Food Additives) menetapkan, ADI (Acceptable Daily Intake) untuk CO2 “not specified”. Ini menunjukkan tidak adanya kekhawatiran risiko mengenai penambahan CO2 dalam minuman.
Badan POM juga menetapkan bahwa CO2 merupakan bahan pengkarbonasi yang juga diijinkan penggunaannya pada produk pangan, untuk membentuk karbonasi pada produk makanan dan minuman.(Baca : Minuman Diet Picu Kenaikan Berat Badan? )
Minuman bersoda akan tetap ‘menggigit’ atau ‘krenyes’ selama kemasannya belum dibuka. " Menariknya, saat tertelan, ternyata sebagian besar karbonasi dalam minuman bersoda sebenarnya tidak sampai di lambung, karena sebagian besar gas telah menguap ketika kemasan dibuka," kata Made.
Gelembung tersisa akan segera diserap melalui dinding saluran pencernaan. Dan,"Jumlah yang diserap oleh tubuh tersebut relatif sangat kecil dibandingkan dengan jumlah karbon dioksida yang dihasilkan tubuh kita secara terus-menerus secara alami, yakni saat metabolisme arbohidrat, protein dan lemak menjadi energi,” ujar Made.
EVIETA FADJAR
Berita Terpopuler
Penggunaan Alat Handsfree Tetap Berbahaya bagi Pengemudi
Anak Populer Bisa Jadi Target Bullying
Pencernaan Sehat, Dukung Pertumbuhan Otak Optimal
Inspirasi Ranah Minang Karya Stephanus Hamy