TEMPO.CO, Jakarta - Bila di era 80-an dan 90-an konsep lajang kerap dinilai sebagai nasib buruk yang tak bisa diubah, di era 2000-an hal itu berubah karena terjadi tren baru dalam memaknai konsep lajang. Perempuan juga menjadi lebih pemilih untuk menentukan pasangan.
Psikolog Roslina Verauli mengatakan terdapat tren baru dalam memaknai konsep lajang. Berbeda dengan beberapa dekade lalu, melajang di usia 20 tahun bagi perempuan seperti aib. Namun, di era 2000-an, melajang bukan sekadar karena tak laku tapi karena pilihan.
Perempuan masa kini, katanya, lebih pemilih. Daripada mereka harus menjalani hubungan bersama pria yang tak sepadan, mereka memilih untuk tetap melajang. Pasalnya, mereka tak mau menurunkan standar hanya demi mendapat pasangan.
"Remain single itu bukan enggak laku. Tapi mereka memilih lebih baik single daripada marry down atau mendapat pasangan yang enggak sepadan," ujarnya di sela acara peluncuran buku ParenThink, Selasa (22 Desember 2015).
Hal itu terjadi akibat beberapa faktor seperti tingkat pendidikan perempuan yang lebih baik, peluang karir yang semakin luas dan revolusi seksual.
Tingginya pendidikan perempuan akan memperluas jenjang karirnya. Dengan begitu, pilihan yang dibuat bisa semakin beragam.
Sementara itu, revolusi seksual memandang bahwa kebutuhan seksual yang biasanya baru terpenuhi setelah menikah ternyata bisa didapat tanpa harus meninggalkan status lajang.
"Pendidikan makin tinggi, peluang karir makin luas, revolusi seksual membuat single jadi pilihan," katanya.
Apalagi, di usia 20-an, baik perempuan maupun pria mencari dua hal, yakni relasi yang bisa berujung pada hubungan intim dan karir.
Bila salah satunya saja bisa didapatkan, mereka yang berada di usia ini cukup puas dengan hidupnya.
Kepuasan tertinggi, katanya, diperoleh saat kedua hal ini didapat.
Dengan demikian, perempuan yang memilih tetap melajang belum tentu merasa kesepian.
"Alone and lonely belum tentu. Ketika pencapaian karir memuaskan dan value tinggi belum tentu dia kesepian," katanya.