TEMPO.CO, Jakarta - Bulan ini, Bintang berulang tahun ke-25. Bicara soal usia 25, kami membaca sejumlah artikel dan blog kesehatan. Ada yang menarik. Sebuah blog menyebut, wanita usia 25 tahun memiliki risiko melahirkan dengan perbandingan 1:1.250.
Menjelang 30 tahun, perbandingan risiko melahirkan anjlok menjadi 1:952. Usia 35, menjadi 1:378. Seiring meningkatnya usia, rasionya terus menurun. Umur 25 tahun dipandang sebagai usia paling ideal untuk melahirkan. Benarkah?
Bahan baku yang sehat
Rentang usia hamil terbaik, 20-30 tahun. Kemampuan untuk hamil dan tingkat kesuburannya mencapai 90 persen. Ditilik dari aspek kesehatan si kecil, wanita usia 20-30 tahun kemungkinan melahirkan bayi tidak lengkap atau (maaf) cacat sangat rendah, 1:8.000 hingga 1:12.000. Di rentang usia 20-30 tahun itulah, sel telur sedang matang-matangnya.
Dokter spesialis obstetri dan ginekologi, dr. Achmad Mediana, SpOG, mengatakan kehamilan berisiko meningkat terjadi di usia 30 tahun ke atas. Sementara kehamilan berisiko meninggi dimulai di usia 36 tahun ke atas. Kondisi fisik dan hormon wanita usia 25 tahun berada di fase terbaik. Fisik yang dimaksud adalah badan, organ reproduksi, jantung, paru-paru, otot-otot, fungsi indung telur, rahim, dan vagina. Kondisi psikis maupun psikososial juga sedang baik-baiknya.
Itu sebabnya, Achmad menyarankan agar wanita (yang sudah menikah) di usia 25 tahun tidak menunda kehamilan. Jika ingin cepat hamil di rentang usia 20 sampai 30 tahun, jalanilah pola hidup sehat. Pola hidup sehat yang dimaksud, kesehatan bahan baku sperma dan sel telur.
“Organisasi Kesehatan Dunia menyebut sehat itu meliputi dua aspek: jiwa dan raga. Kalau raga sehat, tapi masih belum hamil juga, coba cek, jangan-jangan jiwa tidak terlalu sehat. Misalnya, rumah Anda di Depok (Jawa Barat) sementara kantor di Tanjung Priok Jakarta Utara. Berangkat butuh waktu dua jam. Belum kalau kena macet. Banyak pasien saya susah mempunyai anak karena faktor pekerjaan terlalu jauh. Atau jarak kantor dekat tapi volume pekerjaan terlalu banyak,” beber Achmad.
Ubah pola hidup
Tekanan alias stres sangat memengaruhi tingkat kesuburan suami-istri. “Penjelasan medisnya begini: pusat hormon wanita berada di otak, yakni di hipofisis. Dalam bekerja, ia sangat dipengaruhi otak besar. Kinerja otak besar terpengaruh oleh suprasistem atau superego yakni marah, senang, susah, stres, dan emosi-emosi lain,” papar Achmad.
Anda mungkin pernah mendengar seorang teman mengeluh haidnya tak teratur atau mengalami perdarahan melulu. Setelah dicek (secara medis), tidak ada kelainan fisik. Ternyata, itu terjadi akibat kelainan psikis. Jangan salah. Pria pun bisa mengalami hal yang sama, yakni turunnya kualitas sperma.
Kuncinya, ubah pola hidup Anda. Jika memungkinkan, carilah tempat kerja yang tidak terlalu jauh dari rumah. Atau, mencari tempat kediaman yang tak terlalu jauh dari kantor. Hindari rokok, kopi, alkohol, makanan mentah, setengah matang, serta yang dibakar agak gosong. Perbanyak sayur, buah, dan susu. Bagaimana dengan olahraga? Yang penting keteraturannya. Bukan jenis olahraganya.
Kalau mau cepat hamil, jangan melakukan olahraga yang sifatnya mengencangkan melainkan melenturkan seperti yoga, renang, dan jalan kaki. Untuk pria, hindari olahraga yang terlalu membebani area panggul. Yang direkomendasikan, olah raga yang mendinginkan seperti renang dan jalan kaki.
“Kalau boleh menyarankan, setidaknya seminggu dua kali berolahraga di bawah sinar matahari pagi. Dengan terpaan sinar matahari, metabolisme kalsium dan vitamin D akan aktif dan itu sangat membantu proses fertilisasi atau pembuahan,” imbuhnya.