Penulis kelahiran Bandar Lampung 23 tahun silam itu berbincang mengenai awal mula terjun di dunia menulis hingga skripsi yang tak kunjung usai.
Tanya (T): Bagaimana cerita di balik penerbitan buku pertama Indigo Girl?
Jawab (J): Aku waktu itu lagi sakit, jadi tiga hari enggak sekolah. Selama tiga hari biar enggak nganggur aku nulis. Terus aku sebenarnya habis ke Gramedia dan memang ada pengumuman soal salah satu penerbit buku, (aku berpikir) tapi kan karena penerbit kecil mungkin mau kali ya menerima (naskah). Ya sudah kukirim saja.
T: Sebelum menerbitkan buku pertama Indigo Girl (2010), apakah kamu sudah membuat banyak tulisan sebelum akhirnya terbit
J: Enggak. Aku bahkan enggak bisa nulis diary. Enggak suka. Enggak bisa. (tertawa). Jadi ini betul-betul kayak out of nowhere saja. (Baca :Baru, Parfum Wangi Leher Kucing, Seperti Apa Baunya?)
T: Kamu enggak nulis diary, tapi bilang "Semua Ikan di Langit" adalah isi curhat?
J: Kan save personal life for the public. Kalau diary tuh apa sih, cuma dibaca sendiri, enggak ada yang apresiasi (tertawa).
T: Waktu kecil pernah bercita-cita jadi penulis?
J: Enggak, aku waktu kecil ingin jadi kondektur bus seperti yang saya tulis di "soal penulis". Tapi mama bilang itu karena saya suka lihat kondektur bus punya banyak uang. Saya pikir "oh berarti orang itu orang kaya". Logic. Tapi… enggak… Tidak berminat jadi penulis.
T: Sejak kapan mulai menulis?
J: Mungkin kelas 5 SD, tapi enggak serius juga sih. Ini enggak pernah diseriusin sampai lulus SMA.
T: Setelah lulus SMA, fokus menulis?
J: Saya tidak fokus. Sama sekali tidak fokus. Enggak tahu, kalau nulis itu kayak sebetulnya memang dibilang bisa setiap saat, tapi betul-betul kayak angin-anginan saja. Enggak tahu sih, aku enggak fokus kuliah, enggak fokus nulis, enggak ada fokusnya. Betul-betul kayak divided.
T: Berarti kamu bukan tipe orang yang membuat jadwal menulis?
J: Oh, tidak. Aku dulu kayak begitu terus aku stres sendiri. Jadi aku memutuskan untuk tidak melakukannya lagi.
T: Kamu butuh situasi khusus untuk bisa menulis?
J: Sebetulnya enggak ada situasi khusus, cuma aku paling enggak bisa kalau ada orang yang ngeliatin. Soalnya keluarga gue itu lumayan nosy jadi kalau mulai ngerjain sesuatu di laptop pasti suka ada yang ngintip gitu di belakang, paling enggak suka (tertawa). Jadi, selama enggak ada keluarga bisa di mana saja.
Baca juga :5 Pertanyaan Ini Bisa Jadi Panduan Saat Memilih Sofa Impian
T: Kalau bukan keluarga, siapa pun, enggak terganggu?
J: Soalnya jarang hangout juga sih sama teman-teman. Dan kalau hangout sama teman-teman ya konteksnya hangout, bukan ingin buka laptop dan main-main. Jadi ya memang fokus ke orang. Tapi kalau keluarga kan kayak nyantai sambil ngerjain, karena setiap saat di rumah kan, jadinya ya terganggu. Tapi kalau sama teman-teman sih enggak tahu, enggak pernah merasakan. Karena memang enggak pernah kerja di depan teman-teman.
T: Jadi biasanya menulis di rumah?
J: Di mana saja sih. Di kosan, di kafe juga kadang-kadang, tapi lebih nyaman di kosan sih memang, bisa dikondisikan sesuai keinginan.
T: Kalau bikin buku, judul duluan atau belakangan?
J: Belakangan. Saya tidak suka bikin judul.
T: Ada judul buku yang paling sulit dibikin?
J: Apa ya? Enggak ada yang spesifik sih soalnya kalau judul selalu under pressure. Aku enggak suka ngasih judul. Kalau bisa enggak dikasih judul sih aku enggak kasih judul. Ini (menunjuk ke poster "Semua Ikan di Langit") juga ceritanya out of nowhere. "Ikan di langit", ya sudah, kayaknya oke. Ini satu-satunya judul yang dipuji sama orang soalnya sisa-sisanya memang betul-betul crap.
T: Kalau buku yang paling susah bikinnya apa?
J: Sebetulnya aku suka sih pas nulis ini (Semua Ikan di Langit) tapi situasinya sedang tidak mendukung jadi enggak tahu sih bisa dibilang suka atau tidak. Soalnya waktu nulis cerita ini aku lagi depressed banget. Tapi yang paling aku suka secara overall mungkin "Saving Ludo" yang diterbitkan Mizan. Soalnya itu memang pertama kalinya aku nulis soal yang agak spiritual.
Selanjutnya : Apakah suka baca komentar netizen?