TEMPO.CO, San Francisco - Bagian utama di setengah bagian barat Indonesia di Pulau Timor, Gunung Mutis, merupakan suatu area dengan keanekaragaman hayati yang kaya. Mungkin yang lebih penting, Gunung Mutis merupakan daerah hulu untuk semua aliran sungai utama Timor Barat, yang memasok air minum dan air irigasi untuk banyak penduduk di pulau itu.
Kehidupan suku pribumi Molo sangat bergantung erat pada sumber-sumber daya alam ini, yang dianggap sakral. Mereka mencari makanan dan obat-obatan dari hutan, menanam hasil bumi di tanah yang subur, serta memanen zat pewarna tanaman yang diperlukan untuk bertenun–suatu keterampilan tradisional yang sudah membantu memberikan jati diri bagi para wanita di desa-desa ini selama banyak generasi.
Mereka juga menjalin hubungan spiritual yang dalam dengan lingkungan hidup–sedemikian dalam sehingga rakyat Timor dinamakan sesuai dengan tanah, air, batu, dan pohon, yang melambangkan daging, darah, tulang, dan rambut mereka. Untuk warga pribumi di pulau itu, kerusakan lingkungan hidup berarti hilangnya sebagian dari jati diri mereka.
Pada tahun 1980-an, pemerintah daerah mengeluarkan izin bagi perusahaan-perusahaan tambang untuk memotong batu-batu marmer di pegunungan dalam wilayah Molo. Para pejabat pemerintah daerah melakukan hal ini secara tidak sah tanpa berkonsultasi dengan warga desa setempat, yang mereka anggap sebagai faktor perintang program-program pembangunan. Dengan terjadinya deforestasi dan penambangan, tanah longsor makin sering terjadi, mencemarkan air dan menimbulkan penderitaan besar bagi warga desa yang tinggal di daerah hilir.
Aleta Baun, seorang warga pribumi Molo, lahir dalam keluarga petani. Karena ibunya meninggal dunia pada saat ia masih muda, ia dibesarkan oleh para wanita dan sesepuh desa yang mengajarkannya untuk menghormati lingkungan hidup sebagai sumber jati diri rohani dan nafkah sehari-hari.
Sebagai seseorang yang hidupnya dibentuk oleh nilai-nilai yang dianut para sesepuh ini, secara alamiah Baun memangku peran pemimpin dalam komunitasnya, dengan menyebarkan pengetahuan tradisionalnya sehingga akhirnya dikenal dengan nama panggilan “Mama Aleta”. Pada saat perusahaan-perusahaan pertambangan mulai membabat hutan dan memotong batu marmer dari gunung, ia paham bahwa kegiatan-kegiatan mereka merupakan suatu ancaman terhadap hak-hak orang Molo atas wilayah mereka–dan juga terhadap kelanjutan hidup mereka.
Dia memiliki keyakinan inti bahwa kehidupan warga desa tidak dapat dipisahkan dari alam. Inilah yang kemudian menjadi pesan kunci yang disebarkan olehnya kepada berbagai komunitas lain di sekitar gunung. Prakarsa ini bermula dari suatu gerakan kecil dengan tiga perempuan lain. Kelompok perempuan ini melakukan perjalanan kaki dari satu desa terpencil ke desa lain–suatu perjalanan yang kadang-kadang makan waktu lebih dari enam jam.
Pekerjaan Mama Aleta membuat dirinya menjadi bulan-bulanan bagi kepentingan usaha pertambangan dan para pejabat daerah. Bahkan pihak lawan Mama Aleta ada yang membuat dan menawarkan hadiah kepada siapa pun yang dapat membunuhnya. Setelah selamat dari suatu usaha percobaan pembunuhan yang hampir berhasil, Mama Aleta lari menyembunyikan diri di dalam hutan bersama bayinya. Sejumlah warga desa yang lain berkali-kali ditahan dan dipukuli.
Meskipun menghadapi intimidasi dengan kekerasan, Mama Aleta tetap mengembangkan gerakan ini hingga mencakup ratusan warga desa. Gerakan ini berpuncak dalam suatu pendudukan sambil menenun. Seratus lima puluh perempuan menghabiskan waktu selama satu tahun dengan menenun sambil menduduki lokasi penambangan marmer. Mereka dengan tenang menenun pakaian tradisional sebagai bentuk protes.
Kaum perempuan secara tradisional bertanggung jawab untuk mencari makanan, zat pewarna, dan obat-obatan dari gunung. Penting bagi mereka untuk memimpin kampanye ini. Dalam suatu pembalikan peran, sementara kaum perempuan melakukan protes di area penambangan, kaum pria memberikan dukungan rumah tangga di dalam rumah dengan memasak, membersihkan rumah, dan menjaga anak-anak.
Menghadapi kehadiran warga desa yang damai dan berlanjut, penambangan batu marmer menjadi usaha yang makin tidak dapat dipertahankan lagi bagi perusahaan-perusahaan yang terlibat. Kesadaran rakyat akan pendudukan sambil menenun makin berkembang, dan para pejabat pemerintah Indonesia turut memperhatikannya. Pada tahun 2010, karena menghadapi tekanan, perusahaan-perusahaan pertambangan menghentikan penambangan di semua dari empat lokasi di wilayah Molo dan meninggalkan pengoperasian mereka.
Kini, Mama Aleta bekerja bersama berbagai komunitas di seluruh wilayah Timor Barat untuk memetakan hutan tradisional mereka. Usaha ini merupakan suatu strategi pencegahan untuk memapankan hak-hak wilayah kaum pribumi serta melindungi tanah mereka dari proyek-proyek pertambangan pada masa depan dan berbagai ancaman dari pertanian komersial serta pengembangan minyak dan gas. Ia juga memimpin berbagai usaha untuk menciptakan berbagai peluang ekonomis bagi warga desa melalui pertanian berlanjut serta usaha-usaha yang memberi penghasilan dengan cara bertenun dan kegiatan-kegiatan lain.
HADRIANI P
Topik Terhangat:
Serangan Penjara Sleman| Harta Djoko Susilo | Nasib Anas
Berita Populer:
TKW Ini Ditipu dan Dirampok Teman Facebook
Polisi Buru Suami Pembakar Istri di Bogor
Dipergoki, Pencuri Motor Tembak Pekerja Salon
Pekerja Bangunan Temukan Proyektil Mortir