TEMPO.CO, Jakarta - Setengah tahun yang lalu, Leslie Bolen kehilangan anaknya, Michael, dalam usia 14 tahun. Ia mengalami kejang hingga otaknya kekurangan oksigen dan cedera. Semasa hidupnya, Michael menderita autisme dan penyakit penyertanya, epilepsi. "Tidak pernah terpikir anak saya akan meninggal sebelum saya," kata Bolen, seperti dikutip dari CNN, 15 September lalu.
Michael adalah satu di antara ribuan anak yang menderita autism spectrum disorder. Beberapa tahun belakangan, jumlah penderita penyakit ini menunjukkan peningkatan. Pada 1996 ada 3,4 per 1.000 anak yang dilaporkan mengidap autisme, pada 2010 jumlahnya naik menjadi 14,7 per 1.000 anak. Berdasarkan laporan terakhir, ada 14,6 dari 1.000 anak berumur 0–8 tahun yang mengidap autisme.
"Itu artinya, 1 dari 68 anak menderita autisme," kata dokter spesialis anak, Hardiono Pusponegoro, dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar di kampus Universitas Indonesia, Depok, Sabtu, 24 September lalu.
Baca: Kapolda Jawa Barat: Empat Anggota TNI Terlibat Perampokan Rp 17 M
Hardiono mengatakan autisme adalah gangguan pada anak yang memiliki ciri khusus kesulitan dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain. Tanda-tanda awalnya sering berupa keterlambatan bicara dan kurangnya kontak mata. Anak juga memiliki perilaku, minat, serta aktivitas yang terbatas dan dilakukan berulang-ulang.
"Kalau tak ditata laksana dengan baik, sebagian tetap tidak berbicara, tidak mau bergaul dengan temannya, sehingga tidak dapat bersekolah biasa," kata Hardiono.
Masalahnya, penyebab autisme masih gelap hingga kini. Berbagai faktor lingkungan sudah diteliti, tapi tak ada yang terbukti menyebabkan autisme. Faktor genetik sering disebut sebagai penentu terpenting dalam autisme. "Tapi genetik mana yang berperan belum tersingkap," ujarnya. Akibatnya, belum ada obat yang pas untuk mengatasi masalah ini.
Hardiono mengungkapkan, orang tua bisa mengenali lima tanda-tanda autisme pada anak. Bila orang tua mencurigai adanya tanda-tanda tersebut, anak perlu dinilai secara khusus oleh ahli. Tanpa penilaian yang tepat, 39 persen kasus gagal dideteksi. Jika hasilnya benar bahwa anak mengalami autisme, orang tua harus siap mengikutsertakan anaknya dalam program terapi. Proses ini butuh waktu, biaya, dan pengorbanan yang besar.
Simak: Kasus Dimas Kanjeng, Polisi Akan Periksa Suami Marwah Daud
Menurut Hardiono, ada berbagai penyakit penyerta yang terjadi bersama autisme. Misalnya, disabilitas intelektual yang terjadi pada 30 persen anak autisme, gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas, gangguan tidur, serta epilepsi. Gangguan tersebut bisa diterapi dengan obat. Meski begitu, pengobatannya hanya bersifat mengurangi gejala apabila anak menunjukkan perilaku hiperaktif dan berbagai gejala berat, seperti tantrum, agresif, atau menyakiti diri sendiri.
Terapi yang paling baik, ucap dia, tetaplah intervensi non-obat yang disesuaikan dengan umur dan kondisi anak. Dia mencontohkan, terapi wicara. Anak juga harus disekolahkan dengan guru yang terlatih dalam terapi perilaku. Hasil penelitian pada 165 anak yang mendapat terapi baik menemukan 75 persen anak bisa berbicara, 1 persen anak dapat berbicara sedikit, dan 15 persen tetap tak bisa berbicara.
Karena dunia autisme masih belum tersibak, penelitian untuk mengetahui lebih dalam mengenai penyakit itu terus dilakukan. Leslie Bolen turut berpartisipasi dengan menyumbangkan otak almarhum anaknya kepada program nasional Autism BrainNet. Program ini digerakkan jaringan lembaga penelitian di Amerika Serikat, yang memfasilitasi studi autisme menggunakan jaringan otak pasien yang sudah meninggal. Mereka berharap, otak Michael bisa membantu para ilmuwan mendapat pengetahuan lebih ihwal autisme.
NUR ALFIYAH