TEMPO.CO, Jakarta - Suasana gedung Jogja Expo Center (JEC) di Bantul, Kamis, 13 Oktober 2016 masih sepi. Lampu-lampu di ruang pamer Jogja International Batik Biennale (JIBB) 2016 masih temaram ketika Chesia Gabby dan Odiliana Aliyanta sibuk berbenah. SMP Stella Duce 1 Yogyakarta, merupakan sekolah kedua siswa yang ikut pameran itu.
Bahkan lokasinya berada di lorong yang berhubungan dengan pintu masuk yang memamerkan aneka batik yang menceritakan sejarah batik Yogyakarta. Sekolah itu ikut ambil bagian dalam sejarah, karena menerapkan kurikulum membatik yang kemudian dibuat baju dan dikenakan sendiri oleh pembuatnya. Lantaran itu pula, sekolah itu diganjar penghargaan dari Museum Rekor Dunia Indonesia (Muri) sebagai pelopor pengguna batik karya sendiri.
Semula, aktivitas membatik telah dikenalkan kepada siswa di sana sejak 1980. Kala itu berupa membatik pada kain kecil untuk sapu tangan.
“Selesai membatik, bangga, terus hilang kainnya karena kecil,” kata Guru Membatik SMP Stella Duce 1 Yogyakarta Theresia Dharmayanti saat ditemui Tempo di JEC, Kamis, 13 Oktober 2016.
Dan sejak Unesco menetapkan batik sebagai warisan budaya Indonesia pada 2009, sekolah itu pun menjadikan membatik sebagai kurikulum khusus dalam muatan lokal. Tak tanggung-tanggung, setiap siswa dibekali kain berukuran 1,5 meter – 2 meter untuk dibatik sendiri. Setelah usai, kemudian dijahitkan kepada penjahit, lalu dikenakan sendiri ke sekolah setiap Jumat.
“Dan motifnya beda-beda,” kata Theresia.
Kurikum itu diterapkan kepada semua siswa baik kelas 7, 8, dan 9. Setiap satu semester, satu anak harus membuat satu batik. Artinya, selama tiga tahun sekolah di sana harus menghasilkan enam baju batik. Untuk siswa kelas 7 awal akan membuat batik ikat yang relatif lebih mudah dengan kuas atau canting. Semester selanjutnya mulai membuat motif sederhana. Kelas 8 membatik dengan membuat motif tradisional dan mengenalkan aneka batik tradisional dari luar negeri. Kelas 9 membatik dengan cap dan pewarnaan alam.
Kesan menakjubkan yang dirasakan Gabby dan Odhi kali pertama membatik adalah ketika menggunakan canting. Benda penampung cairan malam yang panas itu awalnya membuat siswa kelas 8 itu salah tingkah. Takut tetesannya mengenai kaki, takut cairannya mbleber di atas kain.
“Pegang canting itu tangan gemetar,” kata Odhi yang bersama Gabby kompak mengenakan batik jumputan karya mereka sendiri ketika kelas 7 lalu.
Namun itu tak meruntuhkan keinginan mereka yang sama-sama mempunyai cita-cita untuk tetap bisa membatik hingga lulus dari SMP nanti. Seperti Odhi yang ingin membatik dan menjualnya ke luar negeri. Juga Gabby yang nguri-uri budaya membatik dengan mengenalkannya kepada anak-anak.
“Anak-anak itu sekarang pegangannya gadget. Aku maunya mereka pegang canting, biar bisa membatik,” kata Gabby dengan senyum merekah.
PITO AGUSTIN RUDIANA