TEMPO.CO, Jakarta - Ingar-bingarnya suasana penjualan akik di Pasar Rawa Bening kontras dengan suasana Desa Palamea, tempat asal batu bacan. Desa ini terlihat tak selayaknya sebuah perkampungan tambang yang makmur. Mencapai lokasi tambang harus ditempuh dengan tiga jam berjalan kaki dengan menelusuri bukit sepanjang lima kilometer. Tiba di lokasi tambang, puluhan terpal biru ukuran 6x7 meter terlihat berjejer tepat di bibir lubang penggalian batu.
Penambangan batu bacan dilakukan secara tradisional dengan menggunakan cangkul, linggis, betel, palu, sekop, serta senter kepala. Lubang galian berdiameter 3 meter dengan rata-rata kedalaman 30-40 meter. Satu lubang penambangan batu bacan dikerjakan oleh satu kelompok yang terdiri atas 3-7 orang. Setiap orang mendapat jatah pekerjaan 1-2 jam. “Kalau sudah mendapatkan urat batu bacan, barulah semua orang dalam satu kelompok ini kerja bersama-sama,” kata Samsudin, 34 tahun, salah satu penambang di Palamea.
Sebelumnya baca:
Demam Akik: Dari Pulau Bacan Hingga Ibu Kota (1)
Deman Akik: Meroket Setelah Obama Sentuh Bacan
Samsudin menuturkan sejak 2011 jumlah penambang batu bacan di Desa Palamea melonjak tajam. Penambang bukan lagi penduduk setempat tapi warga daerah lain seperti Labuha, Tobelo, Galela, dan bahkan dari Sulawesi Utara. Mereka tertarik lantaran pendapatan dari penambangan batu bacan lebih besar ketimbang penambangan emas. “Sekali menambang bisa mendapatkan Rp 30-50 juta,” ujar Samsudin.
Setiap dua minggu sekali, ada pembeli yang datang langsung ke Palamea. Satu bongkahan seberat 1 kilogram dengan warna hijau bening dihargai Rp 100 juta. Biasanya hasil penambangan batu bacan dibagi tiga: 30 persen untuk pemilik lahan, 5 persen untuk penyuplai bahan makanan, dan 65 persen untuk penambang. “Uang dibagi setelah bongkahan batu terjual,” ujar Nurdin, penambang yang lain.
Selanjutnya Baca: Demam Akik: Batu Garut Jadi Barang Investasi (3)
Transaksi batu bacan di Desa Palamea umumnya dilakukan antara penambang dan penadah. Sangat jarang transaksi dilakukan pembeli langsung dengan penambang. Akibatnya harga di lokasi penambangan lebih rendah dibanding di Ternate atau Jakarta.
Di Palamea bongkahan batu bacan dengan ukuran 2 kilogram dihargai Rp 80-100 juta. Di Ternate Rp 150 juta. “Konsumen lebih senang membeli batu bongkahan karena harganya relatif standar. Mereka bisa membentuk batu sesuai dengan keinginannya,” ujar Ashlih Abusama, 39 tahun, salah satu perajin di Labuha. “Kalau di Jakarta harga jualnya bisa lebih tinggi. Saya pernah menjual bongkahan batu bacan kepada pembeli dari Jakarta dengan harga Rp 200 juta,” kata Riad Rasid, 51 tahun, salah satu penadah batu dari Labuha.
TIM TEMPO
Berita Menarik: