TEMPO.CO, Jakarta - Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia mengeluarkan imbauan etika menghubungi dosen melalui telepon genggam. Ada tujuh hal yang diatur dalam aturan itu, dan satu hal contoh dalam memberi pesan singkat kepada dosennya. Salah satu yang diimbau adalah membiasakan menggunakan kata ‘Maaf, Terima kasih,’. Cukup aneh mendengar mahasiswa masih harus diingatkan beretika menggunakan kata ‘Maaf dan Terima kasih’ saat berinteraksi dengan orang yang lebih tua.
Psikolog Astrid Wen mengatakan fenomena ini terjadi karena mahasiswa masa kini memiliki latar belakang yang berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya. Menurut Astrid, generasi kelahiran 80an hingga 90an, rata-rata memililiki latar belakang keluarga yang sulit dalam hal keuangan. Mereka masih sering melihat bagaimana para orang tua pontang panting mencari penghidupan demi keluarga. “Demokrasi pada keluarga dulu pun tidak sebebas pada keluarga saat ini,” kata Astrid. Baca: 5 Prinsip Dasar Etika Berinternet
Latar belakang memiliki kondisi keluarga yang sulit, dan demokrasi yang terbatas itu bisa menjadi salah satu faktor para anak menghormati orang tua. Demokrasi yang terbatas di keluarga pun membuat anak tidak bisa seenaknya berbicara kepada orang tua. “Jadi ada rasa takut yang ditanamkan oleh orang tua kepada anak saat itu,” katanya.
Di keluarga saat ini tidak ada lagi hambatan dalam hal menyampaikan pendapat. Keluarga saat ini memiliki kebebasan demokrasi di rumah. Keluarga semacam ini biasanya memiliki orang tua berlatar belakang menengah ke atas. “Komunikasi keluarga seperti ini biasanya bebas. Kebebasan berekspresi dan demokasi juga jauh lebih tinggi,” katanya.
Perasaan bebas itu pun terbawa saat keluar rumah dan berbicara kepada dosen atau orang yang lebih tua. Tidak ada perasaan takut yang ditanamkan di keluarga ini. Sebagian mahasiswa dengan latar belakang keluarga yang bebas berekspresi biasanya akan berpikir bahwa para dosen hanya merupakan orang-orang yang hanya perlu dibayar. Akibatnya, penghormatan yang diberikan pun tidak sebanyak generasi sebelumnya. “Mereka bisa berpikir bahwa ‘saya kan bayar kamu, yang penting tugas selesai’,” kata Astrid.
Menurut Astrid, kebiasaan di rumah yang mengakibatkan sebagian anak atau murid kurang sopan berkomunikasi kepada guru atau orang orang yang lebih tua bisa dilakukan secara tidak sadar. Bisa saja para orang tua saat ini, yang berkecukupan, tidak mau sang anak merasakan penderitaan yang pernah dirasakan para orang itu. “Akibatnya, semua tuntutuan anak akan selalu dipenuhi,” kata Astrid.
Astrid pernah mengalami hal itu. Beberapa mahasiswa yang hendak melakukan riset dan berkonsultasi dengannya sering terdengar menggunakan gaya bahasa yang biasa digunakan antar teman sejawat. Anak Sekolah Dasar pun sering menggunakan kata ‘kamu’ saat menyapa Astrid, gurunya. “Saya tidak pernah menggunakan kata ‘kamu’ kepada orang dewasa dulu,” Astrid mengaku tidak masalah dengan beberapa kejadian komunikasi itu, namun ada pula kekhawatirannya kebiasaan komunikasi tanpa batas itu menyakiti perasaan orang lain.