TEMPO.CO, Jakarta - Peluang untuk investasi properti memang besar, namun bukan berarti Anda bisa asal memilih properti untuk berinvestasi.
Agar sukses dalam beriinvestasi properti ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan.
Pertama, melihat kesediaan dana, sehingga investor dapat memutuskan jenis properti apakah yang sesuai dengan kemampuan.
Kedua, menentukan tujuan berinvestasi properti, apakah untuk tempat tinggal, tempat usaha, sewa, dan sebagainya.
Ketiga adalah memilih lokasi yang tepat dengan mempertimbangkan berbagai hal mulai dari infrastruktur, area pengembangan sekitar di masa yang akan datang, serta jarak dari lokasi aktifitas sehari-hari apakah lokasi rawan banjir, sampai dengan bagaimana sumber airnya. Baca: April, Bulannya Para Wanita: Catat, Ada Parkir Gratis Seharian
Keempat, memilih pendanaan, apakah akan berasal dari pendanaan pribadi penuh, utang bank, atau dengan pendanaan dari investor lain.
Kelima, sebaiknya memeriksa dengan baik status tanah dan legalitas tanah, terutama tanah warisan yang sudah cukup lama belum terbagi. “Seringkali tanah ini akhirnya sulit berpindah [tangan] karena problem dalam mencari siapa saja ahli waris yang sah dari tanah tersebut,” jelasnya.
Senada, perencana keuangan Aidil Akbar mengatakan untuk menjadikan properti sebagai instrumen investasi, investor juga harus berhati-hati memepertimbangkan karakteristik dari properti itu sendiri. Misalnya, apartemen dan rumah juga memiliki klasifikasi yang berbeda-beda dari yang murah hingga yang paling mahal atau mencapai Rp5 miliar.
“Beberapa kasus properti sangat menjanjikan, hanya saja harus hati-hati, properti yang mana yang dipilih, masing-masing memiliki pasar yang berbeda. Itu akan menentukan hasilnya,” ujarnya.
Aidil mencontohkan perumahan elit di Pondok Indah atau Permata Hijau memiliki harga yang tinggi. Harga tanah untuk lokasi tersebut katakanlah sekitar Rp40 juta—Rp60 juta per meter, sehingga paling tidak harga jual di atas Rp10 miliar. Baca: Coachella 2018, Fashion Pria Pilih Tema Printing Shirt?
Menurutnya, apabila membeli rumah dengan kisaran harga tersebut untuk tujuan investasi sangatlah berisiko. “Siapa yang mau beli dengan harga setinggi itu? Level Direksi BUMN saja tidak sampai. Biasanya pengusaha, atau pejabat daerah yang bisa,” jelasnya.
Aidil menyarakan untuk tidak membeli rumah yang terlalu tinggi harganya apabila tujuannya untuk instrumen investasi. Apalagi, risiko tertinggi dari investasi tersebut adalah likuiditas.
“Kalau tujuannya untuk investasi harus mencari rumah yang laku dijual, misal yang harga Rp1 miliar—Rp 2 miliar. Tapi itu, kan, harga sekarang, kalau mau menjual tiga hingga 5 tahun lagi harga pasti naik. Jadi kalau bisa membeli rumah di bawah harga itu,” paparnya.
Selain itu, strategi kedua adalah dengan menggunakan refinancing, atau pendanaan ulang atas KPR. Skema ini adalah dengan pengajuan kredit atau utang untuk rumah yang masih dalam keadaan KPR pada bank.
Pada umumnya skema refinancing menawarkan bunga yang lebih rendah. “Tapi itu juga tergantung dari kreditnya bagus tidak, rasionya terhadap penghasilan masuk atau tidak,” katanya. Baca: Gemar Minuman Soda? Waspadai Sakit Jantung Mengintai