TEMPO.CO, Jakarta - Banyaknya laporan masyarakat terkait dengan kemunculan ular kobra di wilayah permukiman merupakan bukti rusaknya ekosistem reptil berbisa tersebut. Belakangan, masalah ular juga menjadi sumber kewaspadaan saat banjir.
Menurut pegiat satwa Hanif Kurniawanika, jika tergigit, penanganan pertamanya adalah dengan cara imobilisasi atau membuat bagian tubuh yang digigit ular itu tidak bergerak. Cara termudah adalah dengan menggunakan dua bilah kayu, bambu atau kardus, serta bahan-bahan lain yang bersifat kaku.
Ada dua metode imobilisasi, yakni metode imobilisasi dengan plester elastis. Metode ini khusus untuk kasus gigitan ular dengan bisa neurotoksin yang kuat. Memakaikan perban elastis, menurutnya, harus dilakukan oleh tenaga terlatih seperti perawat. Artinya, tindakan ini tidak disarankan untuk dilakukan oleh masyarakat awam.
Imobilisasi dilakukan dalam kurun waktu 24-48 jam. Imobilisasi yang tidak menggunakan plester elastis digunakan untuk menangani pasien-pasien yang tergigit ular yang sifatnya hematotoksin sehingga menyebabkan pembengkakan.
“Kalau di-elastic band, justru membuat kondisinya lebih buruk. Contohnya ular tanah, ular kobra, king kobra, itu bengkak dan menimbulkan sebuah pembengkakan atau nekrosis. Jadi, meskipun bisa kobra dan king kobra, sebenarnya juga ada sifat neurotoksinnya, tetapi karena ada pembekakan, jadi jangan pakai elastic band," ucapnya.
Barulah setelah dilakukan penanganan awal tersebut, korban harus segera dilarikan ke rumah sakit. "Dokter juga jangan sembarangan memberi antibisa. Kalau penangananannya tidak benar, korban justru tidak bisa terselamatkan," ucapnya.