TEMPO.CO, Jakarta - Remaja adalah investasi masa depan. Sebagai generasi penerus, semua pihak baik keluarga sampai pemerintah harus memastikan kecukupan gizi pada remaja.
Direktur Gizi Masyarakat Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat, Kementerian Kesehatan, Dhian Proboyekti Dipo mengatakan, fase remaja merupakan kesempatan kedua untuk memperbaiki kualitas generasi mendatang, setelah tahap balita. "Kecukupan gizi remaja berimplikasi penting pada kemampuan nagara dalam mencapai target pembangunan jangka panjang," kata Dhian dalam acara Talkshow and Launching Promosi Gizi Berbasis Sekolah pada Kamis, 3 September 2020.
Dhian menjelaskan, kondisi kesehatan remaja saat ini menunjukkan 1 dari 4 remaja mengalami stunting dan 1 dari 7 remaja mengalami kelebihan berat badan. Kondisi stunting pada fase remaja, menurut dia, umumnya terjadi karena pengelolaan gizi yang kurang baik di masa balita.
Adapun kelebihan berat badan yang terjadi pada remaja, Dhian menjelaskan, disebabkan berbagai faktor. Survei konsumsi makanan individu pada 2016 menunjukkan konsumsi gula meningkat lebih dari 50 gram per orang perhari, kemudian konsumsi natrium juga bertambah sebanyak 2.000 miligram, dan konsumsi lemak berlebih sebanyak 26,5 persen. Konsumsi gula, garam, dan lemak yang berlebihan menjadi pemicu obesitas yang utama.
Riset Kesehatan Dasar atau Riskesdas tahun 2013 dan 2018 juga menunjukkan berkurangnya konsumsi makan sayur dan buah pada masyarakat. Pada riskesdas 2013 tercantum sebanyak 93,3 persen orang Indonesia kurang makan sayur dan buah, angka tersebut naik menjadi 95,5 persen lima tahun kemudian. "Ini menggambarkan gaya hidup kita berisiko terhadap kesehatan," katanya.
Ketika remaja tergolong stunting atau kelebihan berat badan, menurut Dhian, yang salah bukan remaja tersebut, melainkan orang yang menyiapkan makannya. "Ketahui apa saja kebutuhan gizinya sehingga sesuai dengan tumbuh kembangnya," kata Dhian.
Ilustrasi remaja menolak makan. shutterstock.com
Sebab itu, dia melanjutkan, semua pihak, baik orang tua, guru, pengelola kantin sekolah, sampai tokoh masyarakat harus mendapatkan edukasi yang tepat tentang kebutuhan gizi remaja. Beberapa gerakan yang di sekolah untuk mengintervensi gizi remaja antara lain pemberian suplemen penambah darah untuk remaja putri, gerakan sekolah atau pesantren sehat, pelayanan kesehatan peduli remja, pendidikan gizi dalam kegiatan Usaha Kesehatan Sekolah atau UKS, sampai komunikasi demi perubahan perilaku, misalkan mencegah pernikahan dini.
Direktur South East Asian Ministry of Education Organization, Regional Center for Food and Nutrition atau SEAMEO RECFON, Muchtarudin Mansyur mengatakan siswa sekolah dasar, menengah pertama, dan menengah atas merupakan subjek strategis untuk penanganan gizi, termasuk stunting. "Sebab mereka adalah agen perubahan yang dapat membawa praktik baik kesehatan gizi dan keluarga," kata Muchtarudin.
Pada kesempatan itu, SEAMEO RECFON dan The Global Alliance for Improved Nutrition atau GAIN Indonesia meluncurkan Promosi Gizi Berbasis Sekolah atau School-Based Nutrition Promotion (SBNP) dan Buku Kompilasi Kegiatan SBNP di Indonesia. SBNP dan buku ini mendokumentasi berbagai upaya promosi gizi berbasis sekolah yang sudah dilakukan di berbagai sekolah di Indonesia. "Kami berharap buku kompilasi ini bisa menjadi sumber informasi dan advokasi bagi guru, pembuat kebijakan dan akademikus," kata dia.