TEMPO.CO, Jakarta - Dokter spesialis anak Mesty Ariotedjo terus menyuarakan pentingnya tindakan preventif untuk menekan laju COVID-19. Menurut Mesty, masyarakat perlu memahami bahwa meski seringkali tidak menunjukkan gejala, anak yang terinfeksi COVID-19 memiliki jumlah virus dalam darah atau viral load yang tinggi di saluran napas. “Sehingga kemungkinan mereka menularkan individu lainnya sangat besar. Maka untuk meminimalkan risiko ini, biasakan anak melakukan perilaku hidup bersih dan sehat dengan benar, dan pastikan mereka mendapatkan gizi seimbang sehingga imunitasnya tetap terjaga,” katanya pada konferensi pers bertema “Program Sekolah dan Pesantren Sehat” oleh Unilever Indonesia Foundation pada 24 September 2020.
Lebih jauh lagi, guna mencegah lingkungan pendidikan seperti pesantren menjadi klaster penyebaran COVID-19, Mesty berpesan agar para pengajar serta orang tua terus menanamkan pentingnya protokol kesehatan, seperti memakai masker, sering mencuci tangan dan menjaga jarak aman lebih dari dua meter, agar anak dapat lebih siap ketika nanti diperbolehkan kembali bersekolah. Hal ini menjadi sangat penting karena pakar kesehatan mengatakan bahwa perubahan perilaku berkontribusi 80 persen dalam mengendalikan kurva pandemi.
Sebelumnya, Unilever Indonesia Foundation meluncurkan “Program Sekolah dan Pesantren Sehat”. Kegiatan yang sudah dilakukan sejak 2016 telah menjangkau 10 juta anak di 41.847 sekolah dan pesantren di berbagai wilayah Indonesia. Beragam program pelatihan bagi guru dan murid serta fasilitas diberikan untuk terus menanamkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) pada anak-anak sejak dini di lingkungan pendidikan.
Di masa pandemi program ini makin relevan sebagai upaya melindungi kesehatan anak, mempersiapkan mereka menghadapi era adaptasi kebiasaan baru, sekaligus menekan penularan COVID-19. “Hasil evaluasi terhadap efektivitas program menunjukkan data menggembirakan, program ini berhasil mengubah kebiasaan 43 persen anak untuk terbiasa mencuci tangan di lima waktu penting, dibandingkan sebelumnya yang hanya tiga kali sehari saja,” kata Head of Corporate Affairs & Sustainability Unilever Indonesia, Nurdiana Darus.
Penanaman PHBS secara intensif dan berkelanjutan menjadi sangat krusial karena anak merupakan salah satu golongan usia yang rentan terjangkit penyakit, termasuk COVID-19. Bahkan tercatat bahwa jumlah kematian anak (0-18 tahun) akibat COVID-19 di Indonesia tertinggi se-Asia Pasifik, angkanya 1,1 persen lebih tinggi dari Tiongkok, Italia dan Amerika. Data lain juga menunjukkan bahwa Indonesia menduduki peringkat pertama terkait proporsi angka kejadian COVID-19 pada anak, yaitu sebesar 9,1 persen. Permasalahan ini pun makin menantang karena berbagai kegiatan harus tetap berjalan, termasuk belajar mengajar di pesantren.
Kegiatan akan menargetkan para pemangku kepentingan, terutama pimpinan dan pengajar melalui Training of Trainers. Mereka didorong untuk membina dan mengembangkan Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) dan Pesantren Sehat menuju better hygiene, better nutrition, dan better environment.
Pelatihan yang dilakukan secara online didukung dengan modul pembelajaran yang menarik bagi anak serta pendampingan bagi para pengajar. Selain itu, para dokter kecil dan duta santri juga dilibatkan sehingga dapat menyebarluaskan edukasi pada teman-temannya. Tidak hanya edukasi dari pihak sekolah, program ini juga merangkul partisipasi para orang tua agar anak-anak mendapat dukungan yang lengkap untuk mendampingi mereka di era tatanan baru.
Unilever Indonesia Foundation merilis Program Sekolah dan Pesantren Sehat pada 24 September 2020/Unilever Indonesia
Direktur Pendidikan Dhiniyah dan Pondok Pesantren, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama, Waryono Abdul Ghofur mengatakan penting sekali program perilaku hidup bersih di pesantren lebih digencarkan. Menurutnya, saat ini tercatat sekitar 29 ribu pesantren di Indonesia. Mayoritas pesantren umumnya terletak di desa dan memiliki infrastruktur yang terbatas. Ada yang belum memiliki listrik, ada juga yang belum memiliki internet. Bahkan ada yang belum memiliki listrik dan internet. “Sehingga masih banyak kegiatan belajar tatap muka karena belajar online atau pembelajaran jarak jauh belum bisa dilakukan,” katanya.
Lembaga pesantren pun masih memiliki masalah dalam hal sanitasi. Ia mengakui masih banyak pesantren yang belum memenuhi standar sanitasi. “Kami sudah bekerja sama dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat terakait pembangunan sanitasi, tapi jumlahnya tidak sigifikan. 1 tahun hanya mampu memberikan bantuan 100 pesantren saja,” kata Abdul Ghofur.
Selain sanitasi yang masih rendah, masalah lain pesantren adalah banyaknya jumlah santri di pesantren. Ia mengatakan bahwa berbeda dengan lembaga sekolah umum, pesantren tidak mengenal kuota dalam penerimaan santri. “Para kyai pemilik pesantren itu tidak bisa menolak santri untuk belajar. Jumlah santri yang banyak, tapi fasilitas sanitasinya belum standar,” kata Abdul Ghofur. Hal ini pun membuat instruksi jaga jarak antar masyarakat sulit diterapkan.
Saat ini sudah ada beberapa santri yang positif terjangkit COVID-19. Menurut Ghofur, sudah 600an santri di puluhan pondok pesantren yang positif COVID-19. “Beruntung sampai saat ini tidak ada yang meninggal,” kata Abdul Ghofur.
Direktur Sekolah Dasar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Sri Wahyuningsih mengatakan hak anak untuk mendapatkan pendidikan harus tetap diprioritaskan demi masa depannya. Namun sebelum melepas mereka kembali bersekolah, penting sekali orang tua membiasakan PHBS sejak dini. Hal ini bisa menjadi kunci mengendalikan penyebaran COVID-19 di lingkungan pendidikan. “Selain memastikan seluruh sekolah menerapkan protokol kesehatan dengan ketat, Kemendikbud sangat mendorong peran serta para pengajar serta orang tua untuk membekali anak dengan pengetahuan PHBS tepat sejak dini sebagai modal agar mereka dapat belajar dengan aman,” katanya.