TEMPO.CO, Jakarta - Terjadinya ketidaktepatan bau yang diterjemahan otak berarti telah terjadi gangguan penciuman disosmia yang disebut parosmia. Gejala utamanya, merasakan bau busuk yang terus-menerus. Hal ini menjadi bagian yang timbul sebagai gejala dan efek bagi penderita Covid-19.
Parosmia sering disalahartikan kondisi lain yang disebut phantosmia, perbedaan yang mencolok dari kedua disosmia indera penciuman ini ada bau yang diimbui oleh indera juga sumber baunya. Parosmia terjadi sebagai hasil dari campur aduk sinyal antara neuron sensorik olfaktorius, sel saraf yang terletak di rongga hidung yang mendeteksi bau, serta bagian otak tempat bau diterjemahkan dan diinterpretasikan. Gangguan penciuman ini biasanya terjadi pada pasien yang terinfeksi virus atau bakteri yang secara langsung menyerang dan merusak neuron, termasuk influenza.
Jika individu mengidap Parosmia, maka hal yang dirasakan dari indera penciumnya aroma yang sebelumnya menjadi bagian hal disukai, menyenangkan berubah menjadi sangat bau kuat dan tak tertahankan, kadang sulit untuk mendiskripsikan bau yang dirasakan akibat kerusakan neuron penciuman yang dialami.
Akhirnya hal ini dapat beri penuruna kualitas hidup penderita Parosmia, seperti mempengaruhi selera makan invidu tersebut, sebagai contoh penderita Parosmia pada umumnya ketika mengimbui harum roti yang baru dipanggang berubah jadi berbau menyengat dan busuk. Sehingga beri efek merasa mual atau mual saat makan.
Dr Jane Parker, ilmuwan yang mendalami indera perasa di Universitas Reading, mempelajari parosmia sebelum pandemi, saat kasus ini masih sangat jarang terjadi. Ia mengatakan bahwa pengalaman bau salah pada penderita Parosmia merupakan aktivitas yang hanya dapat mencium salah satu bagian bahan yang terkandung.
Ia mencontohkan pada minuman kopi, kopi diketahui mengandung aroma yang khas, sebab salah satu kandungan dalamnya terdapat sulfur terkombinasi dengan molekul lain sehingga aromanya enak, namun aroma berubah menjadi bau jika hanya satu unsur yang dominan, dalam contoh ini hanya sulfur yang tercium.
Sebab mengapa masih tetap merasakan kurang tepatnya mencium setelah pulih dari Covid-19, Hipotesa yang disampaikan Parker yakni kondisi ini terjadi karena kerusakan serat saraf yang membawa sinyal dari hidung ke terminal penciuman di otak.
Saat serat saraf yang rusak tumbuh kembali, diperkirakan serat ini tersambung kembali, namun ke terminal yang salah, kata Parker. "Serat saraf berada di tempat yang salah! Ini berarti ada kondisi yang salah dan otak tidak mengenal bau dan mungkin terprogram untuk berpikir yang tercium adalah bahaya."
Namun, pada virus corona, para peneliti masih perlu mempelajari lebih banyak kasus lagi.
Gangguan indera penciuman parosmia ini, dapat disebabkan oleh tiga hal: Pertama, gangguan konduktif yang disebabkan oleh disfungsi transpor odoran atau berkurangnya odoran yang sampai ke neuroepitel olfaktorius. Kedua, gangguan sensorik yang disebabkan oleh kerusakan neuroepitel olfaktorius. Ketiga, gangguan saraf yang disebabkan kerusakan bulbus olfaktorius atau jalur sentral olfaktorius.
TIKA AYU