TEMPO.CO, Jakarta - Pembelian impulsif atau panic buying akibat mengambil keputusan secara emosional seperti yang terjadi dalam kasus tabung oksigen hingga susu steril bisa dihindari. Psikolog klinis dewasa dari Universitas Indonesia Mega Tala Harimukthi mengatakan kembali ke akal sehat dan hati nurani bisa menjadi salah satu kiat.
Merujuk pada kelangkaan tabung oksigen karena diburu orang seiring meningkatnya angka kasus COVID-19, cobalah kembali memahami siapa saja yang sebetulnya membutuhkan alat ini, khususnya di tengah pandemi COVID-19. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, pasien COVID-19 yang membutuhkan terapi oksigen ialah yang bergejala berat dan kritis, juga orang dengan gangguan pernapasan.
Sementara pasien tanpa gejala atau bergejala ringan bisa terus memantau saturasi oksigen di dalam darah menggunakan pulse oximeter. Angka saturasi dikatakan normal bila menunjukkan kurang lebih sama dengan 95 persen. Apabila angka di bawah 95 persen, pasien disarankan berkonsultasi dengan dokter untuk mendapatkan rekomendasi medis.
"Edukasinya itu pertama kembali ke akal sehat, hati nurani. Kalau merasa diri sehat tidak mempunyai penyakit bawaan yang membutuhkan tabung oksigen, enggak punya asma, misalnya, sakit jantung, dan penyakit lain yang berhubungan dengan pernapasan, tidak perlu dulu untuk memborong tabung oksigen," kata Tala.
Di sini, orang-orang yang mempunyai kapasitas ilmu medis khususnya terkait COVID-19 atau pihak media bisa berperan mengedukasi masyarakat, misalnya dalam bentuk infografis. Dalam infografis itu bisa digambarkan siapa saja yang membutuhkan terapi oksigen dan bagaimana orang mendapatkan tabung oksigen. Selain itu, pemanfaatan media sosial juga bisa dicoba sebagai sarana penyampai informasi.
"Bentuk edukasi yang mudah dipahami bisa infografis, sekarang ada TikTok yang bisa menjadi sarana penyampai informasi, Instagram, pokoknya memanfaatkan banyak media untuk mengedukasi masyarakat bahwa tidak perlu panic buying yang sampai merugikan orang lain," ujar Tala.
Kemudian, untuk yang cenderung cemas sehingga berisiko panic buying akibat Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat atau PPKM Darurat dan segala kebijakan pembatasan kegiatan di luar rumah, bisa mencatat daftar kebutuhan dan membelinya sesuai daftar. Tala menyarankan agar mempertimbangkan barang yang akan dibeli hanya sesuai kebutuhan. Hal ini juga berlaku saat melihat orang mengunggah daftar belanjanya.
Pikirkan kembali barang yang orang lain beli itu dibutuhkan atau tidak. Hal ini agar tak mengambil keputusan secara emosional dan impulsif lalu membuat berbelanja hal yang sama dengan orang lain padahal barang itu tak dibutuhkan.
"Pertimbangkan sebelum belanja apakah kita benar-benar membutuhkan barang yang akan dibeli itu. Kalau ada orang lain yang beli, belum tentu kita butuhkan. Balik ke kesadaran kita sendiri untuk belanja," katanya.
Kemudian, bila merasa tidak nyaman hingga membuat cemas dan panik dengan pemberitaan yang ada di televisi atau media lain, sebaiknya berhenti dulu mengaksesnya. Sebisa mungkin, kendalikan diri dalam menerima informasi yang masuk. Menurut Tala, di kondisi saat ini, informasi yang datang bisa sangat banyak, baik itu valid atau justru hoaks.
"Kita tidak bisa berharap orang lain akan terus mengingatkan tetapi harus sadar bahwa sudah mulai capek dengan pemberitaan ini, membuat tidak nyaman dan jadinya cemas. Mundur dulu, istirahat dulu, ganti dulu tayangan media yang biasa kita lihat supaya bisa lebih rileks," tuturnya.
Kalau pun sudah terlanjur mengalami panic buying, mungkin saja bisa tersadar. Biasanya, saat melihat barang-barang yang dibeli tidak terpakai muncul pikiran, 'Ngapain beli sampai diborong semua'. Ketika sudah sadar, di sanalah peran orang terdekat untuk membantu mengingatkan Anda tak perlu memborong, membeli produk yang sebetulnya tak diperlukan. Kalaupun mau preventif, tidak perlu sampai harus memborong, cukup beli sesuai kebutuhan," pesan Tala.
Hal senada diungkapkan psikolog yang berfokus pada masalah kecemasan dan isu terkait di Universitas Macquarie, Melissa Norberg. Dia yang pernah melakukan penelitian mengenai panic buying di Australia, salah satunya pada produk tisu toilet, menyarankan orang-orang memikirkan sejenak barang-barang apa yang benar-benar dibutuhkan sebelum membelinya. Berpegang teguhlah pada daftar belanja dan ingatkan diri tentang apa yang ada di rumah dapat membantu mengurangi dorongan untuk memborong suatu produk atas alasan berjaga-jaga. Menimbun barang tidak berarti akan merasa lebih baik.
"Jika melihat orang lain melakukannya dan rak kosong, tetap berpegang pada daftar apa yang dibutuhkan dan ingatkan diri Anda bisa melewatinya," ujarnya, seperti dikutip dari ABC News.
Menurut Norberg, mereka yang paling mungkin panic buying sudah memiliki kecemasan tentang kesehatan pribadi, menganggap produk tertentu akan langka serta melihat orang lain panic buying. Dosen psikologi dari Universitas Sunshine Coast, Jacob Keech, dan rekannya, Karina Rune, juga mempelajari fenomena panic buying. Mereka juga menemukan, ketakutan kekurangan produk menjadi sebagian alasan sebagian orang mengantre di toko-toko di Australia setelah lockdown diumumkan.