TEMPO.CO, Jakarta - Heboh kasus perundungan dan pelecehan seksual yang dialami pegawai KPI. Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Livia Istania DF Iskandar, mengatakan proses pemulihan bagi penyintas kekerasan seksual harus diiringi dukungan sosial yang penuh.
“Support system itu menjadi sangat penting. Kalau penyintas hidup di lingkungan yang tidak mendukung atau menyalahkan korban, tentu proses pemulihannya menjadi lebih panjang,” kata Livia.
Ia mengatakan ketika penyintas memiliki keberanian untuk bersuara atas kasus yang dialami, pendengar tidak boleh menilai dan menghakimi sebab respons psikologis setiap orang memiliki tingkat kerumitan yang berbeda.
“Pada saat dia membutuhkan orang untuk menjadi tempat bercerita, kita bisa menemaninya. Atau menemaninya saat perlu bantuan ke psikolog, menemaninya selama perjalanan pemulihan. Jangan menjadi hakim. Jangan sekali-kali membandingkannya dengan orang lain. Sering kali kata-kata malah bisa menyakiti,” terang Livia.
Ia juga menyebutkan saat penyintas melapor kasus kekerasan seksual kepada penegak hukum, seharusnya laporan tersebut dapat diterima terlebih dulu. “Menurut saya, yang menerima laporan itu tidak dalam posisi untuk menjadi hakim, seharusnya bisa menerima,” ujar perempuan yang aktif menjadi pembina di Yayasan Pulih itu. “Tidak mudah menjadi penyintas yang berani melapor, belum lagi kalau speak up di media sosial ada ancaman UU ITE.”
Livia mengungkapkan proses pemulihan setiap penyintas memang berbeda. Tetapi secara umum dapat dilihat melalui dua faktor, yakni risiko dan pelindung. Korban kekerasan seksual yang memiliki cenderung lebih sulit menjadi penyintas yang berdaya. Sebaliknya, korban yang memiliki perlindungan lebih banyak dan kuat akan lebih mudah menjadi penyintas berdaya.
“Di beberapa tempat juga biasanya disediakan support group atau kelompok penyintas yang bisa saling menguatkan dengan apa yang mereka alami dan yang membuat mereka bangkit,” tambahnya. “Pemulihan pada dasarnya dimulai dari diri sendiri. Apakah dia bisa menerima dan menjadi diri sendiri, apakah bisa mengatasi rasa marah dan benci yang bergulat di dalam diri, dan apakah bersedia konseling dengan psikolog,” kata Livia.
Ia menekankan kasus kekerasan seksual merupakan permasalahan yang kompleks. Dukungan sosial yang lebih luas sangat dibutuhkan, meliputi perbaikan sistem hukum dan sistem pemulihan agar penyintas berani melaporkan kasusnya serta mendapatkan keadilan.
“Negara perlu hadir dalam perlindungan dan pemulihan. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang sudah digagas memang lebih komprehensif jadi tidak hanya ditekankan pada hukuman untuk pelaku tetapi juga tentang bagaimana proses pemulihan bagi penyintas,” ujarnya.
Ia menambahkan proses menata dan membangun kembali hidup penyintas merupakan bagian dari hak pemulihan yang harus didapatkan. “Oleh sebab itu, LPSK juga turut hadir untuk memberi perlindungan supaya seorang saksi korban dapat memberi pernyataan secara aman dan nyaman selama proses pidana,” tegasnya.
Baca juga: Jangan Anggap Sepele, 9 Gejala Trauma Pada Pria Korban Pelecehan Seksual