TEMPO.CO, Jakarta - Metode bekerja secara hibrida diperkirakan masih akan menjadi tren di 2022. Hal tersebut diperkuat McKinsey, yang menyurvei sewaktu prapandemi, sebanyak 30 persen memilih untuk bekerja secara hibrida, 62 persen secara luring dan 8 persen dari jarak jauh.
Kemudian, pascapandemi tercatat 52 persen memilih untuk melakukan kerja hibrida, 37 persen bekerja di kantor dan 11 persen dari jarak jauh. Bukan hanya menjadi tren, bekerja hibrida ternyata memberi beberapa manfaat. Microsoft mencatat sebanyak 82 persen pemimpin dari perusahaan di seluruh Eropa mengatakan setidaknya perusahaan mengalami produktivitas dibanding sebelum pandemi karena karyawan menjadi fleksibel dalam memanfaatkan waktu dengan lebih baik.
Dengan bekerja secara hibrida, mereka dapat menghindari waktu perjalanan pulang pergi kerja yang sibuk di jam-jam tertentu dan mengurangi pengeluaran harian. Terkait kebahagiaan dalam bekerja. SurveyMonkey 2020 juga mengatakan pekerja jarak jauh lebih merasa bahagia dibanding rekan kerja mereka yang bekerja di kantor karena manfaat psikologis yang diperoleh seperti dapat menggunakan pakaian santai, memiliki banyak waktu dengan keluarga, memasak, semuanya dapat dilakukan sewaktu bekerja hibrida.
Meskipun bekerja hibrida memiliki manfaat, ada juga beberapa masalah yang dihadapi karyawan ketika bekerja dengan mode ini, seperti distraksi ketika melakukan rapat virtual dari rumah atau mana saja, yang membuat komunikasi dan koordinasi seringkali terhambat. Dalam upaya untuk melakukan transisi menuju kerja hibrida, perusahaan harus berinvestasi dalam mendesain kembali infrastruktur bekerja yang diperlukan.
"Tren hybrid working di tengah situasi yang tidak menentu ini, membuat perusahaan harus melakukan penyesuaian dalam beberapa hal," kata Business Development Manager, VDO, Jabra Indonesia, Louis Sudarso.
Baca Juga:
Baca juga: 7 Dampak Negatif Terlalu Banyak Bekerja