Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Dunia Gila Den Kisot

Reporter

image-gnews
Teater Den Kisot di Solo, Kamis 14 Juli 2022. TEMPO/Anton Aprianto
Teater Den Kisot di Solo, Kamis 14 Juli 2022. TEMPO/Anton Aprianto
Iklan

TEMPO.CO, Jakarta - Setelah Jakarta, Bandung, bahkan Tidore dan Ternate di Maluku, Den Kisot mampir ke Solo pada 14-15 Juli 2022, lalu ke Yogyakarta dua hari kemudian. Di Jawa Tengah, nama tokoh utama teater boneka yang diambil dari dua jilid novel klasik Don Quixote de la Mancha ini menjadi Den Bagus Kisot.

Penulis Spanyol Miguel de Cervantes, menerbitkan kisah panjang Don Quixote pada 1605-1615. Epik pengembara gila ini acap disebut sebagai peletak dasar sastra modern Eropa. Untuk memperingati peran pentingnya, PBB menjadikan tanggal kematiannya, yang sehari lebih dulu dari tanggal kematian Shakespeare, 23 April, sebagai Hari Buku Internasional.

Etnomusikolog Endo Suanda menerjemahkan naskah Den Kisot, tafsir esais-penyair Goenawan Mohamad atas Don Quixote, ke dalam pentas teater boneka pada 2019. Waktu itu, berbarengan dengan peluncuran dua jilid tebal terjemahan Don Quixote de la Mancha oleh Apsanti Djokosujatno di Teater Salihara, Jakarta. 

Di Solo, selama dua jam, dalang Arie Koen dan Onie serta narator cerita Arul kembali menuturkan kisah Den Kisot dengan jenaka. Quixote yang gila itu melebur ke dalam karakter wayang golek dengan humor-humor Indonesia. Tak hanya nama, karena di Solo, Arie Koen menyisipkan percakapan-percakapan dalam bahasa Jawa.

Tafsir bebas karya klasik Cervantes ini juga terasa sejalan dengan semangat penulis yang diperkirakan lahir pada 1547 itu: mempromosikan kebebasan menafsir dan membuka kekang imajinasi. Endo, doktor musik lulusan Weyslean University, Amerika Serikat, menafsirkan cerita panjang Cervantes ke dalam pentas wayang golek—tradisi yang menghidupinya sejak lahir di Majalengka, Jawa Barat, 14 Juli 1947. 

Goenawan Mohamad saat menyampaikan sambutan di pertunjukan teater Den Kisot di Solo Kamis 14 Juli 2022. TEMPO/Anton Aprianto

Dalam pidato pembuka, Goenawan Mohamad menyebut teater Den Kisot ini unik. Sebab, tak hanya menafsirkan epik Don Quixote la Mancha ke dalam wayang golek, Endo Suanda berhasil menggabungkan tiga elemen: musik, pendalangan, dan boneka kayu. Selama ini wayang golek lekat dengan citraan kisah Ramayana dan Mahabarata. Di tangan Endo, Den Kisot yang ceritanya berbau Eropa tak kehilangan unsur-unsur pewayangan: musik, pesan, bobodoran.

Barangkali karena imajinasi punya kaki. Ada banyak tafsir atas karakter Don Quixote. Pada 2019 itu juga, Salman Rushdie—yang terkenal karena novel Satanic Verse—meluncurkan novel Quichotte, nama pena Ismail Smile, tokoh ciptaan Sam DuChamp, penulis cerita mata-mata kelahiran India yang tinggal di Amerika. Dalam banyak tafsir itu, Don Quixote tetap saja seorang majenun yang punya banyak pesan tentang dunia dan manusia yang kompleks.

Syahdan, ia adalah Alonso Quixano, lelaki jomblo usia 50. Ia menenggelamkan diri dalam bacaan-bacaan dongeng ksatria—genre sastra yang berkembang di Eropa sebelum Cervantes menulis novel ini. Terpengaruh oleh cerita-cerita yang ia baca, Alonso mengembara ke seluruh Spanyol dengan misi menumpas kebatilan. Ia ajak Sancho Panza, petani lugu, menemaninya dengan janji hendak ia angkat menjadi gubernur.

Seluruh Spanyol pun menganggap Alonso gila. Tak hanya karena pikiran-pikirannya yang nyeleneh, ia juga bertindak aneh. Alonso, misalnya, bergelut dengan kincir angin karena menyangka benda itu gergasi jahat. Ia menganggap perempuan yang merawatnya di losmen, setelah kalah bertarung dengan Ksatria dari Colomadu, sebagai Dulciena del Toboso dan jatuh cinta secara imajiner. Alonso, yang menyebut diri Don Quixote (lelaki pelamun), mengembara dengan kuda seolah hendak maju ke medan perang.

Jengkel dengan kegilaan Alonso, pendeta di Desa La Manca membakar buku-bukunya. Dalam Den Kisot, semua buku dibakar habis, meski dalam versi Cervantes buku-buku puisi disisakan karena padri ini suka membaca sajak. Dalam cerita asli, Pak Pendeta ditemani tukang cukur ketika membakar perpustakaan Alonso. Dalam Den Kisot, pembakar buku adalah Pak Lurah.

Tafsir-tafsir itu tentu saja disesuaikan dengan zaman. Pada cerita asli Cervantes, ia memotret latar sosial Eropa yang bersiap menuju industrialisasi sehingga muncul banyak jenis pekerjaan. Tukang cukur pembakar buku itu juga berprofesi sebagai tabib. Dalam cerita Den Kisot, tafsirnya bukan lagi persekutuan antara agama dan kapitalisme, tapi agama dengan negara—dua kekuatan yang acap menjadi sensor atas kebebasan berimajinasi. Apa pun bentuknya, persekutuan keduanya, yang melahirkan kekuatan mayoritas, punya corak sama: memberangus. 

Pikiran-pikiran Kisot yang dianggap aneh pun segera mengguncang tatanan normal yang diakui logika umum. Pak Pendeta cemas bahwa buku-buku yang dibaca Kisot akan meracuni logika moral umat. Pak Lurah khawatir imajinasi yang terlalu liar akan merongrong kekuasaannya. Mereka jadi punya musuh bersama terhadap pikiran berbeda yang menjelma Den Kisot.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dengan mengutus Ksatria Colomadu, pendeta dan lurah melumpuhkan Den Kisot. Berhasil. Tapi keponakan Kisot membebaskannya dari pemasungan sehingga petualang tua ini kembali melanglang buana. Ia bertemu dengan pasangan orang kaya yang bosan karena hidup mereka tak lagi punya masalah. Kedatangan Kisot pun menghibur mereka. Keduanya menerima ide-ide gila Kisot bahkan mengatakan bahwa Dulciena adalah leluhur mereka yang tinggal di langit.

Terdorong oleh cinta imajinernya, Kisot mau saja naik kuda sembrani untuk diangkat ke langit. Tentu saja dari ketinggian itu ia jatuh. Tubuhnya kembali remuk seperti ketika ia tumbang dihajar Ksatria Colomadu. Bagi pasangan kaya itu, apa yang terjadi pada Quixote adalah hiburan. Bagi Kisot, cemooh itu hanya keniscayaan bagi perjuangannya menegakkan kebenaran.

Teater Den Kisot di Solo, Kamis 14 Juli 2022. TEMPO/Anton Aprianto

Cerita ini seolah akan terus, tak kenal ujung. Cervantes seperti tak hendak mengakhiri cerita dengan cara membiarkan saja Quixote mati. Ketika Sancho Panza, yang tak tega dengan penderitaan Kisot, meminta penulis cerita mengakhiri petualangan aneh ini, Cervantes muncul ke dalam cerita. Bagi dia, tokoh yang ia ciptakan berhak menentukan jalan hidupnya sendiri. Sebab, ia mengaku memungut cerita Quixote dari Syaid Hamid, seorang sejarawan Arab.

Benarkah pengakuan Cervantes? Tak jelas. Dalam novel ini yang fiktif dan faktual memang lebur. Mana cerita orang lain mana ceritanya sendiri tak jelas benar. Barangkali karena itu novelnya menjadi klasik. Cervantes meletakkan teknik dan gagasan novel modern yang mengilhami cerita-cerita lain di generasi berikutnya, Jorge Luis Borges, Milan Kundera, hingga Salman Rushdie.

Karena serba melebur itu, siapa yang gila menjadi tak jelas. Kita bersimpati pada Kisot yang hendak menyampaikan kebenaran, tapi kita juga jeri jika kebenaran versinya hanya fantasi saja. Di mata pendeta dan Pak Lurah, Kisot adalah orang gila, dalam imajinasi Kisot, dunia Pak Pendeta dan Lurah itulah yang tak waras. Siapa yang benar?

Jika cerita ini terasa aktual barangkali karena ini zaman “bias konfirmasi”: kita percaya hanya pada apa yang kita suka lalu saling ngotot mempertahankannya hingga bersabung nyawa. Kebenaran menjadi nisbi karena hanya soal kesepakatan belaka. Lihat: olok-olok, humor, kegilaan, bisa berujung menjadi serius.

Pesan-pesan yang dalam ini, yang mungkin sudah kita tahu karena membaca novel ini, tetap segar di tangan Endo Suanda. Ia tak hanya menafsirkan cerita kompleks Cervantes, sekaligus memperagakan yang kompleks itu di panggung. Panggung wayang goleknya tak konvensional seperti umumnya panggung wayang golek para dalang Sunda. Dua panggung di depan dan belakang saling memperkuat alur cerita Den Kisot dengan wajar. Permainan lampu dan video animasi di layar belakang menambah segar pentas ini.

Yang kurang dari pementasan ini barangkali ketiadaan sinden perempuan. Musik dan lagu sedih ketika Kisot menyatakan ia mencintai Dulciena yang tak ada, kurang melangut karena tak ada suara perempuan. Padahal suara semua alat musik—gitar, tarawangsa, rebab, bas, kendang, hingga violin—yang terbuat dari bambu itu begitu jernih di ruang akustik Teater Arena Taman Budaya Surakarta. Dalang, narator, hingga nayaga semuanya laki-laki. Seusai pertunjukkan, secara berkelakar, Endo mengatakan tak menemukan sinden yang cocok untuk pentas Den Kisot.

Di luar itu, Endo Suanda dan krunya membuat dua jam pertunjukan terasa dua menit. Mungkin karena kita menyukai cerita-cerita gila. Barangkali karena pada dasarnya kita senang dengan kisah-kisah aneh yang tak wajar. Seperti kata Goenawan Mohamad yang mengutip Cervantes melalui Don Quixote atau Den Kisot, terlalu waras adalah kegilaan juga.

Baca juga: Teater Wayang Golek Meriahkan Don Quijote Festival di Salihara

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

5 hari lalu

Perwakilan dari tiga ratus guru besar, akademisi dan masyarakat sipil, Sulistyowari Iriani (kanan) dan Ubedilah Badrun memberikan keterangan pers saat menyampaikan berkas Amicus Curiae terkait kasus Perkara Nomor 1/PHPU.PRES/XXII/2024 dan Perkara Nomor 2/PHPU.PRES/XXII/2024 perihal Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2024 kepada Mahkamah Konstitusi (MK) di Gedung 2 MK, Jakarta, Kamis, 28 Maret 2024. TEMPO/Subekti
MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

Hakim MK telah memutuskan hanya 14 amicus curiae, yang dikirimkan ke MK sebelum 16 April 2024 pukul 16.00 WIB yang akan didalami di sengketa Pilpres.


Kim Sae Ron Mundur dari Teater Dongchimi Sehari Setelah Diumumkan

8 hari lalu

Kim Sae Ron. Instagram/@ron_sae.
Kim Sae Ron Mundur dari Teater Dongchimi Sehari Setelah Diumumkan

Kim Sae Ron batal comeback dengan tampil sebagai pemeran di pertunjukan teater Dongchimi mendatang. Diduga karena kondisi mentalnya memburuk.


Kim Sae Ron akan Main Teater Dongchimi, Comeback Setelah Kasus DUI

8 hari lalu

Aktris Korea Selatan, Kim Sae Ron. Instagram/@ron_sae.
Kim Sae Ron akan Main Teater Dongchimi, Comeback Setelah Kasus DUI

Kim Sae Ron akan membintangi pertunjukan teater bulan depan setelah vakum dari dunia akting selama 2 tahun karena kasus DUI.


Sastrawan Yudhistira Massardi Berpulang, Berikut Karya dan Penghargaan Sepanjang Kariernya

23 hari lalu

Makam sastrawan Yudhistira Massardi di TPU Pedurenan, Bantar Gebang, Bekasi, Rabu, 3 April 2024. Foto: Istimewa
Sastrawan Yudhistira Massardi Berpulang, Berikut Karya dan Penghargaan Sepanjang Kariernya

Sastrawan Yudhistira Massardi meninggal dalam usia 70 tahun pada Selasa 2 April 2024 di RSUD Bekasi. Ini karya dan penghargaan yang diterimanya.


Karya Abadi Yudhistira Massardi, Arjuna Mencari Cinta dari Trilogi Novel Hingga Layar Lebar

23 hari lalu

Novel Arjuna Mencari Cinta karya Yudhistira Massardi. Gramedia
Karya Abadi Yudhistira Massardi, Arjuna Mencari Cinta dari Trilogi Novel Hingga Layar Lebar

Arjuna Mencari Cinta, novel populer karya Yudhistira Massardi pernah difilmkan pada 1979. Judul novelnya pernah dikutip jadi lagu dan sinetron.


Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

46 hari lalu

Film Djakarta 1966. imdb.com
Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

Peristiwa Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar disertai gelombang demo mahasiswa terekam dalam film Djakarta 66 karya Arifin C. Noer


53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

51 hari lalu

Wartawan Senior TEMPO Fikri Jufri (Kiri) bersama Kepala Pemberitaan Korporat TEMPO Toriq Hadad dan Redaktur Senior TEMPO Goenawan Mohamad dalam acara perayaan Ulang Tahun Komunitas Salihara Ke-4, Jakarta, Minggu (08/07). Komunitas Salihara adalah sebuah kantong budaya yang berkiprah sejak 8 Agustus 2008 dan pusat kesenian multidisiplin swasta pertama di Indonesia yang berlokasi di Jl. Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. TEMPO/Dhemas Reviyanto
53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

Majalah Tempo telah berusia 53 tahuh, pada 6 Maret 2024. Panjang sudah perjalanannya. Berikut profil para pendiri, Goenawan Mohamad (GM) dan lainnya.


53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

51 hari lalu

Goenawan Mohamad dikerumuni wartawan di depan gedung Mahkamah Agung setelah sidang gugatan TEMPO pada Juni 1996. Setelah lengsernya Soeharto pada 1998, majalah Tempo kembali terbit hingga hari ini, bahkan, saat ini Tempo sudah menginjak usianya ke-50. Dok. TEMPO/Rully Kesuma
53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

Hari ini, Majalah Tempo rayakan hari jadinya ke-53. Setidaknya tercatat mengalami dua kali pembredelan pada masa Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

Pendiri Majalah Tempo Goenawan Mohamad atau GM menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat ini seolah pemerintahan Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

Budayawan Goenawan Mohamad bilang ia tak jadi golput, apa alasannya? "Tanah Air sedang menghadapi kezaliman yang sistematis dan terstruktur," katanya.