TEMPO.CO, Jakarta - Amerika Serikat (AS) pada 1951 menyatakan bahwa mereka telah menyapu bersih malaria. Melansir npr.org, tonggak sejarah tersebut dicapai melalui upaya penggunaan insektisida, parit drainase, serta kasa jendela.
Namun, warga setempat baru-baru ini dihebohkan dengan berita utama tentang “kembalinya” malaria dengan temuan empat kasus di Florida dan satu di Texas. Ini tentu memicu kekhawatiran yang melanda seluruh negeri.
Selama bertahun-tahun, malaria merupakan masalah kesehatan yang serius di AS. Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (Centers for Disease Control and Prevention atau CDC) bahkan didirikan pada 1946 hanya untuk menghentikan penyakit mematikan itu.
Tercatat sebanyak 15.000 kasus malaria pada 1947. Tiga tahun kemudian, jumlahnya menurun menjadi 2.000. Hingga pada 1951, CDC mengumumkan bahwa mereka telah menang melawan malaria.
Malaria tidak hilang sepenuhnya dari AS. Masih ada sekitar 2.000 diagnosis per tahun dengan gejala demam tinggi, nyeri tubuh, diare, dan muntah. Pemerintah juga melihat beberapa kematian tahunan akibat penyakit itu. Ahli epidemiologi percaya bahwa para pasien kemungkinan besar adalah pelancong atau imigran yang terjangkit di luar AS. Walakin, terdapat kasus tak terduga pada 2003 di mana delapan kasus teridentifikasi sebagai transmisi lokal di Palm Beach, Florida.
Lima kasus malaria di Florida dan Texas kali ini juga diindikasikan sebagai transmisi lokal tanpa adanya catatan perjalanan internasional pada pasien. CDC mengungkap bahwa mereka telah tertular Plasmodium vivax dalam dua bulan terakhir, jenis parasit yang menyebabkan malaria dengan gejala ringan, tetapi masih dapat berakibat fatal pada ibu hamil dan anak-anak.
Lebih lanjut menurut CDC, setiap kasus malaria bagaimanapun harus tetap dianggap sebagai kondisi darurat medis. Penderita malaria perlu dirawat di rumah sakit untuk memastikan gejalanya tidak berkembang menjadi penyakit yang sangat parah dan berujung pada kematian. Setiap tahunnya, 600.000 orang di seluruh belahan Bumi meninggal dunia akibat malaria.
Malaria dan Perubahan Iklim
Iklim Florida sejatinya selalu ramah bagi nyamuk yang merupakan vektor utama malaria. Texas pun demikian, mengingat wabah Zika di wilayah selatan pada 2016, negara itu mungkin sedang berada dalam ambang suhu yang sesuai untuk penularan malaria.
Suhu yang memanas serta curah hujan yang meningkat adalah dua indikator utama tumbuhnya perkembangbiakan nyamuk, terutama karena genangan air. Oleh karena itu, pemanasan global disinyalir dapat menyebabkan penyebaran malaria yang lebih luas. Nyamuk bersahabat dengan iklim hangat dan tersingkir oleh cuaca dingin.
Musim panas yang lebih panjang dan hangat lantas membuat beberapa bagian AS makin ramah terhadap nyamuk malaria. Akan tetapi, para ilmuwan masih perlu penelitian lebih lanjut untuk menentukan apakah kasus terkini di AS berkaitan dengan perubahan iklim. Ini perlu menjadi perhatian khusus bagi negara-negara lain, khususnya yang beriklim tropis.
Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization atau WHO), kasus malaria secara global sedikit meningkat dari angka 245 juta pada 2020 menjadi 247 juta pada 2021. Peningkatan kasus itu dapat disebabkan oleh sejumlah kombinasi alasan, termasuk kesulitan dalam upaya pencegahan gigitan nyamuk.
WHO juga percaya bahwa dunia akan segera mengalami 250.000 kematian tambahan terkait malaria, malnutrisi, serta sengatan panas akibat perubahan iklim. Bencana cuaca ekstrem pada umumnya juga dapat mengganggu perawatan kesehatan, terutama di negara-negara miskin, sehingga lebih sulit untuk mengobati penyakit seperti malaria.
Selagi CDC melakukan penyelidikan lebih lanjut terhadap situasi AS sekaligus mencari lebih banyak kasus di Florida dan Texas, pakar kesehatan masyarakat menyarankan penduduk dunia untuk memakai obat nyamuk di sore dan malam hari, waktu ketika nyamuk cenderung lebih aktif. Selain itu, segera laporkan genangan air ke badan pengendalian nyamuk setempat.
Pilihan editor: Malaria dan Nyamuk Anopheles, Seluk-beluk Penularan dan Lainnya
SYAHDI MUHARRAM