TEMPO Interaktif, Jakarta: Dengan sikap hati-hati, Anisa mengatur napasnya. Rasa sesak di dada disertai napas berbunyi nghik... nghik... alias bengek membuatnya tak leluasa bicara. Padahal, malam itu ia sedang bertemu dengan Gatot, pria yang sejak lama diincarnya. "Ampun, bila serangan si bengek melanda. Apa pun jadi buyar berantakan," ujarnya kesal.
Kekesalan Anisa sering dialami penderita asma lainnya. Namun, menurut Faisal Yunus, Ketua Dewan Asma Indonesia, asma sering dianggap sepele. "Padahal bisa berakibat fatal, seperti kematian. Asma tidak bisa disembuhkan, hanya bisa dikontrol atau diawasi," ujar Faisal kepada pers di Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta, Senin lalu.
Dengan tema "Anda Bisa Mengontrol Asma Anda, Bertindak Sekarang", temu pers ini bagian penting dari peringatan Hari Asma Sedunia pada 6 Mei. Asma adalah penyakit kronis saluran napas yang ditandai dengan gejala-gejala akibat penyempitan saluran pernapasan. Derajat penyempitan ini bervariasi.
Selama ini, konsep penanganan asma masih berorientasi pada pengobatan gejala atau serangannya. "Jadi, bukan pada pencegahan supaya serangannya dapat ditekan atau dihilangkan," tuturnya. Karena itu, istilah yang dipakai kontrol atau awasi asma. Dan penanganan penyakit ini memerlukan waktu panjang.
Faisal mengutip data organisasi kesehatan dunia (WHO) yang memperkirakan jumlah pasien asma di dunia mencapai 300 juta orang dan akan terus meningkat hingga 400 juta orang pada 2025. Jumlahnya bisa lebih besar mengingat asma merupakan penyakit under diagnosed. "Buruknya kualitas udara dan berubahnya pola hidup masyarakat diperkirakan sebagai penyebab meningkatnya penderita penyakit ini di dunia."
Baca Juga:
Di dunia, penyakit ini termasuk lima besar penyebab kematian, yakni mencapai 17,4 persen. Sementara itu, di Tanah Air, asma masuk 10 besar penyebab kesakitan dan kematian. Faisal mengutip hasil penelitian International Study on Asthma and Allergies in Childhood pada 2005 bahwa jumlah penderita asma meningkat dari 4,2 persen menjadi 5,4 persen. Angka ini menunjukkan, ada 12,5 juta pasien asma di Indonesia.
Senada dengan Faisal, Dokter Nury Nusdwiningtyas, SpRM, M.Epid, mengatakan soal pengawasan asma ini telah dilakukan penelitian sejak 1997. Penelitian tersebut memfokuskan pada manfaat penggunaan secara bersamaan obat bronkodilator (pelega napas) dan controller (pengontrolan) inhalasi atau obat isap pada penderita asma dengan tujuan khusus pada perbaikan klinis dan biaya pengobatan.
Hasil penelitian itu memperlihatkan, pasien asma yang menggunakan obat keduanya secara bersamaan ternyata bisa mengurangi serangan asma, kunjungan ke Unit Gawat Darurat akibat asma, dan biaya pengobatan. "Meski demikian, obat controller atau inhalasi itu memang mahal," ujarnya sambil menyebutkan harga obatnya berkisar Rp 250 ribu.
Adapun pemakaian obatnya, menurut Ketua Divisi Rehab Respirasi Departemen Rekarbdodik pada Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo itu, tergantung derajat asma yang dideritanya. Sehari bisa sekali atau lebih. Bahkan, satu obat bisa dipakai sebulan.
Menurut Nury, pengawasan asma sangat penting dan mendesak. Sebab, untuk kasus di Asia, para penderitanya bisa dikategorikan tidak terkontrol. Di Indonesia, 36 persen penderita asma terkontrol sebagian dan 64 persennya tidak terkontrol sama sekali. Kondisi ini mirip dengan yang dialami Thailand, India, dan Sri Lanka.
HADRIANI P