TEMPO.CO, Jakarta - Luka secara garis besar terbagi menjadi luka terbuka dan tertutup. Luka terbuka mencakup lecet, luka sayat, luka robek, luka tusuk, karena gigitan, luka tembak, dan luka bakar. Sementara luka tertutup antara lain memar dan hematoma.
Terkait hal itu, pakar bedah plastik rekonstruksi dan estetik Poengki Dwi Poerwantoro menjelaskan benang untuk menjahit luka yang tak dicabut bisa menimbulkan bekas, misalnya skar hipertrofik. Skar hipertrofik merupakan tonjolan luka yang menebal sesuai garis luka. Kondisi ini terjadi sebelum keloid, yakni daging yang tumbuh pada bekas luka.
"Luka yang dijahit dengan benang yang bisa diserap tubuh (tak dicabut atau diangkat) bentuknya kayak kepang, jadi luka tempat dia lewat enggak mulus tetapi berbentuk bulir dan itu yang sering menimbulkan bekas luka yang kurang bagus," jelas anggota Perhimpunan Dokter Spesialis Bedah Plastik Indonesia itu.
Reaksi peradangan
Selain bekas luka, benang yang tak dicabut atau menjadi daging juga bisa menyebabkan reaksi pada kulit seperti peradangan. Benang ini biasanya akan hilang dalam waktu sekitar tiga bulan dan dalam selama itu bisa terjadi reaksi kulit seperti peradangan berkepanjangan dan lainnya.
Selain pemilihan jenis benang, luka yang bisa berbekas atau tidak juga tergantung pada daerah luka. Menurut Poengki, luka pada wajah cenderung menimbulkan bekas lebih tipis dibanding lokasi tubuh lain karena wajah memiliki lebih banyak pembuluh darah dibanding lokasi lain seperti lutut.
Pembuluh darah di lutut lebih sedikit dari wajah dan tidak ada bantalan kulit. Belum lagi daerah lutut lebih sering digerakkan sehingga semakin banyak tarikan yang membuat kemungkinan menjadi keloid lebih besar.
"Jadi, kalau luka di wajah biasanya lebih tipis bekasnya akan lebih bagus daripada di tempat lain," ujar dokter yang menempuh pendidikan spesialis bedah plastik rekonstruksi dan estetik di Universitas Indonesia itu.
Pilihan Editor: Awas, Penularan Rabies Bisa lewat Luka Terbuka