TEMPO.CO, Jakarta - Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia diperingati pada 10 September dan depresi merupakan pemicu terbanyak kasus bunuh diri. Spesialis kedokteran jiwa di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Prof dr I.G.N.G Ngoerah Denpasar, Ida Aju Kusuma Wardani, menyebut malas gerak bisa jadi salah satu tanda depresi.
"Seperti tidak ada energi, mager (malas gerak), menarik diri dari lingkungan, dan sulit tidur, merupakan beberapa tanda depresi yang perlu dibantu," katanya.
Ia menyebutkan kehilangan minat pada suatu rutinitas tertentu seperti bekerja atau melakukan hobi seperti olahraga juga salah satu tahapan yang harus diwaspadai sebelum pada tahap depresi lebih berat. Selain itu, perilaku seperti putus asa, perasaan diri tidak berguna, serta harapan yang terlalu tinggi namun tidak sesuai usaha yang dilakukan juga perlu diwaspadai setiap orang sebagai gejala depresi.
Cegah bunuh diri
Pada tahap depresi yang lebih berat, orang penderita umumnya lebih sensitif dan cenderung mengatakan sudah bosan hidup atau tidak tahan menghadapi cobaan kehidupan.
"Dengan hal seperti itu berarti individu tersebut memiliki kerapuhan dalam kepribadiannya, maka harus dibantu," ujarnya.
Ia mengimbau setiap orang mewaspadai dan merangkul kerabat atau keluarga yang mengalami sejumlah gejala depresi serta mencegahnya melakukan percobaan bunuh diri. Aju menegaskan percobaan bunuh diri merupakan perbuatan negatif yang hanya berakibat pada dua hal, yakni merenggut nyawa atau menjadikan orang cacat di sisa hidup. Ia pun mengajak berkonsultasi kepada ahlinya untuk mencegah dampak depresi lebih buruk.
"Tidak harus ke spesialis kejiwaan/psikiater, carilah solusi mana yang paling bisa didapatkan, bisa psikolog atau kalau adanya dokter umum juga boleh. Yang penting ada bantuan tenaga medis agar tidak terpuruk karena dengan sosialisasi dapat menciptakan harapan melalui tindakan," tuturnya.
Pilihan Editor: Marak Kasus Bunuh Diri, Psikolog Beri Saran Pencegahan