TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Kelompok Kerja Onkologi Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Sita Laksmi Andarini, mengatakan angka kejadian kanker paru di Indonesia lebih muda 10 tahun dibandingn rata-rata di negara lain, terutama pada perempuan. Penyebabnya jumlah perokok tinggi dan berimbas pada pajanan rokok ke keluarga, terutama anak dan cucu.
“Jadi usia lebih muda ini di Indonesia kalau kita melakukan penelitian di mana-mana angka kanker paru itu 10 tahun lebih muda dibandingkan dengan data di negara lain. Kalau di negara lain adalah sekitar 63-68 tahun. Di Indonesia sekitar 58 tahun rata-rata kanker paru,” ujar Sita, Senin, 4 Desember 2023.
Ia mengatakan merokok meningkatkan risiko kanker paru lebih tinggi sebanyak 20 kali lipat. Angka kanker paru di Indonesia lebih muda karena usia mulai merokoknya yang lebih muda dan paparannya meningkat pada perempuan tidak merokok sehingga usia kanker pun 10 tahun lebih muda. Selain itu, pada laki-laki yang frekuensi merokoknya tinggi dapat berimbas pada seluruh anggota keluarga dengan pajanan rokok yang terus-menerus sehingga juga dapat menyebabkan kanker paru pada anggota keluarga, terutama perempuan yang riwayat keluarganya memiliki kanker paru.
Spesialis pulmonologi dan kedokteran respirasi (paru) dari Universitas Indonesia ini mengatakan gejala kanker paru yang perlu diwaspadai adalah sesak napas, batuk berdarah, nyeri dada, dan ada pula yang menyerupai stroke, misalnya kejang. Hal ini karena adanya penyebaran kanker dari paru ke otak sehingga terjadi penyumbatan di otak dan menimbulkan tumor otak.
“Banyak juga beberapa pasien terdiagnosis kanker paru bukan karena batuk atau sesak napas tapi tiba-tiba lumpuh sebelah (stroke), kemudian dilakukan CT Scan otak atau MRI otak, ternyata ketahuan di situ ada tumor. Saat dibiopsi asalnya dari kanker paru,” papar Sita.
Perkembangan cepat
Selain rokok konvensional, rokok jenis e-sigaret maupun shisha juga memiliki kadar nikotin yang sama, bahkan lebih tinggi 30 kali lipat, yang dapat meningkatkan risiko kanker paru. Pencegahan pada stadium dini sangat dianjurkan untuk meningkatkan angka ketahanan hidup sampai 5 tahun.
“Dari stadium 1 ke stadium 3B hanya sekitar 1 tahunan. Jadi, 1 tahun sampai 1,5 tahun dari stadium 1A sampai stadium 4. Jadi ini sangat sangat cepat, karena itu kita harus menemukan kanker paru dalam waktu dini,” saran Sita.
Deteksi dini atau skrining dapat mempercepat penemuan diagnosis stadium awal sebanyak 23 persen, dilakukan dengan Low Dose CT Scan (LDCT) dengan dosis rendah. Skrining perlu dilakukan meski belum ada gejala dengan kriteria sudah menginjak usia 45 tahun ke atas, perokok aktif atau pasif, bekas perokok yang berhenti 10 tahun, bekerja di tempat yang terpapar bahan kimia seperti silika, pertambangan asbes, dan riwayat tuberkolosis genetik. Jika di bawah 40 tahun namun ada riwayat keluarga terkena kanker paru maka pemeriksaan bisa dilakukan selama 2 tahun sekali.
“Tetapi kalau kita lihat di Indonesia angka perokok itu pada laki-laki sebanyak 64 persen, jadi hampir enam dari tujuh orang harus LDCT tiap tahun. Untuk laki-laki, apalagi eks smoker, kalau ada gejala maka diagnosis dini kalau ada nodul dan berasosiasi dengan tuberkulosis maka cek dahak TB,” imbau Sita.
Pilihan Editor: Kenali Faktor Risiko Kanker Paru karena Kasusnya Terus Naik