TEMPO.CO, Jakarta - Masalah prostat kini kembali menjadi perhatian setelah Raja Charles III dari Inggris harus dirawat di rumah sakit karena pembesaran prostat, pekan lalu. Kondisi ini umum dialami laki-laki, terutama yang berusia di atas 50 tahun.
Selain pembesaran prostat, kanker prostat juga menjadi momok bagi pria usia paruh baya dan lansia. Faktor risiko beragam, seperti usia, ras atau etnis, serta riwayat keluarga. Penyakit ini lebih umum pada lansia dengan rata-rata usia diagnosis pada 67 tahun.
Ada empat mitos yang membuat penderita terlambat terdiagnosis dan mendapat perawatan, menurut Dr. Timothy Showalter, spesialis radiasi onkologi dan kepala staf medis di ArteraAI di California. Berikut mitos tersebut.
Mitos 1: Skrining kanker prostat tak efektif
Metode skrining kanker prostat telah berubah dalam beberapa dekade terakhir. Beberapa dokter tak menganjurkan lagi skrining dengan tes darah prostate-specific antigen (PSA) karena dinilai kurang akurat. Namun Showalter menyebutnya pilihan efektif untuk mengidentifikasi kanker pada stadium awal.
Mitos 2: Kanker prostat selalu ditandai gejala saat buang air kecil
"Kebanyakan kanker prostat tak selalu menyebabkan masalah kencing, seperti sering sering ke toilet atau kebelet," jelas Showalter kepada Fox News Digital. Gejala buang air kecil justru lebih umum pada kondisi nonkanker seperti prostatitis.
Mitos 3: Kanker prostat harus segera mendapat perawatan
Showalter menyebut tergantung kasusnya. Kalau masih ringan tak perlu perawatan khusus kecuali kalau kanker sudah dalam stadium lanjut dan bersifat agresif alias menyebar ke organ-organ lain sehingga butuh kombinasi perawatan macam operasi, terapi radiasi, terapi hormon, dan/atau kemoterapi.
Mitos 4: Setelah operasi kanker prostat, kehidupan seksual pun berakhir
Showalter membantah mitos tersebut. Hubungan seksual bisa terus dilakukan setelah operasi kanker prostat.
Pilihan Editor: Kelompok yang Rentan Terkena Peradangan Prostat Menurut Pakar