TEMPO.CO, Jakarta - Di Indonesia melontarkan kritik atau komentar terhadap seorang ibu yang sedang fokus membesarkan anaknya kerap terjadi. Komentar tentang perubahan fisik yang signifikan, misalnya bentuk tubuh yang tidak lagi langsing, kulit wajah yang menjadi kusam, hingga melontarkan penghinaan atas fisik anak. Kejadian-kejadian tersebut tergolong ke dalam mom shaming yang oleh studi terbaru oleh Health Collaborative Center (HCC) menyebut ibu-ibu di Indonesia sebagian besar mengalaminya, pasca melahirkan.
Berikut 4 hal tentang mom shaming yang perlu untuk diketahui.
1. Mom Shaming Kerap Terjadi pada Sesama Perempuan
Istilah woman support woman tampaknya kian tidak berlaku, karena sesama perempuan yang harusnya bisa saling merasakan nyatanya mom shaming lebih banyak dilakukan oleh kaum perempuan. Dinukil dari Tanoto Foundation, pada dasarnya mom shaming berawal dari sesama ibu yang saling berbagi cara untuk merawat dan membesarkan anak.
Dari sana obrolan terus berlanjut hingga membicarakan hal sensitif seperti pandangan seorang ibu yang ingin berkarier setelah anak mencapai usia tertentu, cara mendidik, hingga proses tumbuh kembanh anak.
Baca Juga:
Perbedaan cara pandang dan berpikir dari yang tadinya hanya bertujuan untuk sekadar sharing bagi sesama ibu, lantas berkembang menjadi saling menyudutkan dan saling merasa benar bila tidak terjadi kesesuaian cara didik dan sebagainya. Itulah mengapa mom shaming lebih banyak terjadi antara perempuan ke perempuan lainnya karena ada perasaan sensitif perempuan apabila menyangkut seorang anaknya.
2. Sosial Media Kerap Menjadi Platform Terjadinya Mom Shaming
Plaform sosial media saat ini memang menjadi forum luas di mana orang-orang bebas mengeluarkan opini, jejak pendapat, hingga memamerkan gaya hidup yang mendekati kata sempurna. Perlu diingat mom shaming juga bisa disebabkan karena rasa insecure ibu atas kehidupan orang lain yang lebih sempurna dalam mendidik anak, ada perasaan membandingkan dan merasa kurang atas kehidupan orang lain tersebut.
Dikutip dari danielle-moss.com, sebuah penelitian menunjukkan seorang ibu yang dibiarkan mengakses sosial media beberapa menit cenderung berubah perasaannya. Di mana ibu merasakan bahwa apa yang selama ini dirinya lakukan, pola pikirnya, hingga pola asuhnya terhadap anak tidak dilakukan secara benar.
Sebagai contoh artis Indonesia Nikita Willy yang kerap mendapat kritik atas pola asuh yang dirinya terapkan, Aurel Hermansyah yang digunjing karena bentuk tubuhnya berubah. Semua itu dilakukan di sosial media yang lebih mudah dibaca serta diketahui banyak orang.
3. Pihak Keluarga Jadi Pelaku yang Paling Memungkinkan Melakukan Mom Shaming
Dilansir dari livescience, sebuah survei daring dilakukan dengan melibatkan 475 ibu dengan anak di bawah usia 5 tahun di Michigan University. Dinyatakan 61 persen responden menjawab mereka mengalami mom shaming akibat pola asuh yang dianggap keliru atau banyak dihakimi.
Keluarga adalah pemberi sumber kritikan terbanyak daripada teman, orang asing, ataupun pengguna sosial media. Seorang ibu memang cenderung merasa lebih nyaman saat sharing bersama keluarga terdekatnya, tetapi yang didapat justru penghakiman yang membuatnya terkena depresi parah.
4. Peran Suami Berdampak Penting untuk Seorang Ibu Menghadapi Mom Shaming
Pada dasarnya seorang ibu yang terkena mom shaming hanya perlu bentuk dukungan dan validasi bahwa dirinya sudah berada di jalur yang tepat sebagai ibu untuk mengasuh serta mendidik anak-anaknya. Suami bisa berperan sebagai support system, tidak segan memberikan pujian atas pencapaian pola asuh ibu terhadap anaknya, hingga menjaga kualitas komunikasi sesama suami istri. Anak juga semakin bahagia bila kedua orang tuanya memiliki hubungan harmonis dan saling mendukung.
Pilihan Editor: Insiden Mom Shaming yang Diungkap HCC Menimpa Sebagian Besar Ibu-ibu Indonesia