TEMPO.CO, Jakarta - Majalah Femina pertama kali diluncurkan tepat pada tanggal 18 September 52 tahun lalu. Femina hadir sebagai majalah perempuan pertama di Indonesia dengan tampilan tidak hitam putih, yang memiliki susunan beraneka warna.
Ada tiga sosok perempuan yang berperan penting dalam berdirinya majalah ini, mereka adalah Mirta Kartohadiprodjo, Widarti Gunawan, dan Atika Anwar Makarim. Tiga perempuan inilah yang bekerja dalam proses produksi pertama majalah ini.
Dilansir dari arsip perpustakaan digital UI, majalah mingguan Femina dipelopori oleh perusahaan Femina Group yang berdiri sejak tahun 1970. Perusahaan ini bergerak di bidang media dan menciptakan beberapa majalah selain Femina. Total ada 13 majalah yang telah mereka terbitkan baik lokal maupun yang berlisensi global.
Dengan sepak terjang mereka saat itu, Femina Group menjadi salah satu perusahaan media terbesar di Indonesia.
Dilansir dari Ensiklopedia Kemendikbud, Majalah Femina pertama kali muncul dengan meluncurkan topik soal perempuan yang menginspirasi. Saat itu belum banyak majalah di Indonesia yang menjadi perempuan sebagai berita utama dan menyoroti peran-perannya.
Mereka menulis tentang perempuan bernama Tuti Indra Malaon, yang merupakan pemain teater sekaligus dosen bahasa Inggris. Majalah Femina menyoroti peran ganda Tuti sebagai ibu rumah tangga dan wanita karier. Wajah Tuti bersama anaknya kala itu dijadikan sampul utama yang merepresentasikan isi dari berita utama. Artikel-artikel yang termuat di dalamnya mengenai tren belajar membatik sebagai hobi, mode pakaian, make up dari pagi hingga malam hari, trik pencahayaan dan warna untuk rumah, dan lainnya.
Awal mula Majalah Femina diterbitkan bukan semata tanpa sebab. Pada tahun 70-an banyak wanita kalangan atas mulai suka membaca majalah perempuan, namun saat itu belum ada yang berbahasa Indonesia dan memiliki banyak referensi.
Kemudian tercetuslah untuk membuat majalah ini dengan menampilkan bagaimana sosok representasi perempuan Indonesia dan berisi soal mode, resep-resep makanan, dan lainnya.
Setelah terbit pun peminatnya sangat tinggi. Era itu, yang berlanjut ke 1980-an situasi ekonomi sedang membaik, pola hidup tengah berubah, dan masyarakat sedang demam membaca. Pembacanya kebanyakan perempuan berusia 25-35 tahun berstatus lajang atau menikah, bekerja dan berwirausaha dan berasal dari kelas menengah ke atas.
Majalah ini mula-mula terbit sebulan sekali, tetapi kemudian menjadi dwimingguan, dan mingguan.
Motonya “Gaya Hidup Masa Kini” berhasil menarik minat banyak pembaca untuk berlangganan pada 1990-an yang bersambung hingga sepanjang 2000-an.
Bukan hanya sekedar majalah biasa, femina hadir untuk memberikan informasi soal tren di kalangan wanita Indonesia. Tak hanya itu, mereka juga memiliki rubrik khusus sastra yang berisi cerita pendek (cerpen).
Tak tanggung-tanggung, majalah Femina juga beberapa kali mengadakan sayembara cerpen yang menarik banyak sastrawan untuk ikut. Salah satunya ada Putu Wijaya. Ada juga karya dari sastrawan lain yang sempat terbit disini seperti karya-karya Nh. Dini, Suwarsih Djojopuspito, Mochtar Lubis, Nina Pane, dan masih banyak lagi.
Saat ini Femina sudah tidak lagi memproduksi majalah cetak sejak tahun 2023. Beralihnya teknologi membuat bisnis kian surut karena peminat pembaca versi cetak kian berkurang. Saat ini mereka beralih sepenuhnya ke versi digital. Majalah Femina juga seperti terguncang dengan kondisi serba digital saat ini.
Sebelumnya, perusahaan Femina Group beberapa tahun silam pernah mengalami krisis hingga mereka tidak menggaji beberapa karyawannya. Hal tersebut berbuntut panjang hingga dibawa ke meja hijau.
Pilihan editor: 34 Tahanan Perempuan Iran Mogok Makan Peringati Kematian Mahsa Amini