TEMPO.CO, Jakarta - Ada yang berubah dalam diri Ananta Mikail, 9 tahun. Pada sebuah siang, ketika pulang dari sekolah, dia menangis sambil menemui ibunya, Evita F.P. Si ibu bingung melihat kelakuan anaknya. Menurut Evita, bila anaknya sudah bersikap seperti itu, biasanya ada masalah di sekolah. “Bisa berantem atau mungkin marahan sama temannya,” kata warga Depok ini saat ditemui Kamis lalu.
Namun, Evita tidak langsung menginterogasi anaknya. Menurut dia, penting bagi anak untuk reda dulu dari rasa sedih atau kecewanya. Karena itu, bila Mikail seperti itu, ia menunggu sampai siang hari dan membiarkan putra bungsunya itu tertidur.
“Setelah bangun atau dia mau makan, baru saya ajak bicara,” katanya.
Evita akan menanyakan dulu kejadian yang membuatnya menangis, baru memutuskan tindakan selanjutnya. “Kalau memang anak saya yang salah, saya jelaskan, dia harus menerima risikonya,” kata Evita.
“Tapi, bila dari ceritanya anak saya tidak salah, saya katakan padanya, dia harus protes dan membalas tindakan buruk temannya.”
Menurut psikolog anak dari Lembaga Psikologi Terapan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Kasandra Putranto, apa yang dilakukan Evita merupakan bagian dari pembentukan self esteem atau penghargaan terhadap diri dalam rangka membangun kepercayaan diri.
“Pembentukan self esteem bergantung pada pola tumbuh-kembang yang ditanamkan oleh orang tua,” ujar Kasandra saat dihubungi Selasa lalu.
CHETA NILAWATY
Gaya! Terpopuler
Agar Kopi Tak Bahaya untuk Kesehatan
Peneliti: Lepaskan BH Anda!
Ingin Lebih Tahan Lapar? Coba Olahraga Ini
Pekerja Komuter Terancam Mati Muda