TEMPO.CO, Malinau - Seusai menangkap ikan dan menikmati indahnya Sungai Berau di Taman Nasional Kayan Mentarang, tim Tempo (penulis Qaris Tajudin dan fotografer Aditya Noviansyah) kembali ke Bahau. Karena waktu makan siang sudah datang, kami menepi di bebatuan. Ding membersihkan ikan padek yang sisiknya sebesar koin Rp 1.000, Dan memotong bambu untuk mengukus perut ikan, Rodes menebas batang-batang basah untuk tusukan ikan, dan Titus mengumpulkan kayu kering serta membuat api. Lima belas menit kemudian, ikan-ikan itu sudah berada di atas api. Dan setengah jam sesudahnya, mereka berpindah ke perut kami.
Sudah sore saat kami sampai di Long Tua. Tak perlu mendirikan tenda karena ada pondok kayu sumbangan dari WWF yang bisa dipakai menginap. Peralatan di dalamnya cukup lengkap, mulai dari perangkat dapur hingga kasur tipis.
Sekitar pukul 5, Titus mengajak saya dan Aditya mencari makan malam. Ia menenteng senapan berburunya dan mulai memasuki hutan. Awalnya, kami masih bisa mengikuti karena ia berjalan di atas jalan setapak. Kami mulai tertinggal saat Titus masuk ke dalam kelebatan hutan, menerobos di sela-sela pohon besar dan yang baru tumbuh, mengikir di pinggir tebing, masuk ke tanah berlumpur, dan menyeberangi kali kecil. Dia berjalan seperti tanpa arah di dalam rimba yang amat pekat. Kami tak tahu apakah dia tahu jalan kembali ke pondok.
Tapi, kami percaya pada nalurinya.
Sebenarnya dia mengikuti jejak babi yang banyak tercetak di tanah basah. “Ada banyak bekas, tapi tak ada yang kelihatan. Ini jejak baru,” katanya menunjuk tapak yang amat jelas di tanah. Selain jejak celeng, kami juga melihat bekas tapak banteng, rusa, juga tai banteng yang masih segar.
Perburuan berakhir di tepi Sungai Bahau. “Kita istirahat sebentar,” kata Titus, yang melihat saya dan Aditya mandi keringat.
Tak berapa lama terdengar tok... tok... tok... Senyap. Lalu terdengar lagi, tok... tok... tok. “Dengar suara itu?” tanya Titus. Kami jelas mendengar suara dari seberang sungai itu, tapi tak tahu apa. Bagi kami yang tidak akrab dengan hutan, itu bisa suara apa saja. Mungkin burung pelatuk, mungkin monyet iseng yang memukulkan ranting ke pokok kopong. Atau mungkin ada tukang kayu sedang bekerja. Tebakan konyol, karena kami benar-benar tak tahu.
Tapi tidak bagi Titus. Itu seperti panggilan makan malam.
Ia membuka kaus hingga tubuhnya yang kekar terbuka, mengambil senapan, dan berdiri di atas batu, memandang ke seberang. Ia berpikir sebentar sebelum akhirnya menyeberangi sungai yang dalam seleher.
Sampai di seberang, ia tak lagi berpikir, langsung masuk ke dalam kelebatan hutan. Lima menit kemudian... dor! Satu letusan terdengar. Satu saja dan Titus keluar dari balik pohonan dengan menenteng babi betina yang montok. Sebagian besar babi hutan di sini adalah Sus barbatus, babi berjanggut, karena memang memiliki janggut panjang. Suara tok-tok tadi berasal dari dia yang mengetuk pokok pohon untuk menjatuhkan buahnya.
Kami sampai di tenda saat senja. Ding sudah membawakan ikan lagi untuk kami yang tak makan babi. (Baca Edisi Khusus Surga Wisata Indonesia)
TIM TEMPO | AMIRULLAH