TEMPO.CO, Jakarta - Seperti namanya, restoran Kunstkring—yang dalam bahasa Belanda artinya “lingkaran seni”—penuh dengan karya seni. Ada lukisan The Fall of Java karya J.W. Pieneman, yang menggambarkan penangkapan Pangeran Diponegoro. Lukisan berukuran 4 x 9 meter itu terletak di ruang utama restoran rancangan P.A.J. Mooijen, arsitek Belanda pada awal abad ke-20, tersebut untuk menyambut tamu yang baru datang.
Lebih dari seabad silam gedung yang berdiri di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta, ini adalah ruang pameran seni dan tempat berkumpulnya para seniman Belanda. Setelah Indonesia merdeka, gedung Kunstkring Paleis dialihfungsikan menjadi kantor imigrasi sampai 1993. Pada 2008, bangunan lawas ini sempat jadi bar, tapi tutup setahun kemudian.
Tahun lalu pengelolaannya diambil alih oleh Tugu Group, yang juga menangani sejumlah restoran kelas atas, seperti Lara Djonggrang dan Dapur Babah Elite. Manajemen Tugu mengembalikan gedung ini ke khitahnya, galeri seni, tapi ditambah fungsi baru sebagai restoran.vPemerintah DKI Jakarta, pemilik gedung ini, mensyaratkan agar keaslian arsitektur gedung dipertahankan.
“Bangunan dan interior yang nyeni adalah keunggulan yang ingin ditonjolkan restoran Kunstkring. Kuliner hanya pintu masuk bagi tamu untuk mengenal sejarah Indonesia,” kata Roasniany T. Chandra—juru bicara Kunstkring—yang akrab disapa Sian.(Baca juga:Bekas Buddha Bar Diminta Dijadikan Galeri )
Kunstkring terdiri atas dua lantai dengan sejumlah area, seperti area Pangeran Diponegoro, Sukarno, Raden Saleh, Multatuli, Colonial Rijsttafel, dan World of Suzie Wong. Area Pangeran Diponegoro adalah nama ruang utama untuk makan besar. Di situ ada sebuah meja yang dikelilingi sepuluh kursi. Di ruangan yang sama ada juga meja-meja kecil yang dikitari empat kursi.
Kunstkring seolah melempar kita kembali ke masa lampau. Arsitekturnya yang bergaya art deco itu meramu unsur dari budaya Belanda, Betawi, dan Cina peranakan. Pintu, langit-langit, dan lantainya masih terjaga kualitasnya.
Interiornya dihiasi ornamen lampion merah, partisi bergaya Cina, lampu temaram, dan musik klasik yang diputar kencang, bersaing dengan tawa pengunjung yang pecah di berbagai ruangan. Berbagai benda seni milik Anhar Setjadibrata, pemilik Kunstkring, yang juga kolektor barang antik, tersebar di sana-sini. Kita seperti berada di sebuah rumah orang kaya di zaman penjajahan Belanda yang penuh perabot kayu yang mewah.
Jumat malam dua pekan lalu, kami kebagian tempat di ruang World of Suzie Wong. Nama ini terinspirasi oleh film berjudul sama yang populer pada 1960-an.
Film itu berkisah tentang cinta Suzie Wong, pelacur asal Hong Kong, dengan Robert Lomax, arsitek Inggris. Di salah satu sisi ruangan terdapat lukisan besar tokoh Suzie yang mengenakan cheongsam putih. Perabot yang ditata di ruangan ini berbau oriental. Warnanya didominasi merah dan emas—lambang keberuntungan di kalangan masyarakat Cina.
Para pelayan, yang mengenakan seragam beskap dan kebaya Betawi, sangat informatif. Mereka tak segan menemani kita berkeliling gedung sembari menyampaikan sejarah singkat bangunan tersebut. Mereka juga menjelaskan setiap menu dengan ramah.
Menu Kunstkring dibagi menjadi tiga bagian, yakni masakan Indonesia, Asia Tenggara, dan Barat. “Tapi koki yang mengolahnya semua berasal dari Indonesia,” ujar Sian. Untuk makanan pembuka, kami memesan Escargot in Champagne with Hazelnut Chartreuse Butter (Rp 89 ribu).
Olahan bekicot ala Kunstkring ini datang 15 menit setelah dipesan.
Oleh koki, daging bekicot itu diolah sampai lembut, sebelum diselimuti lelehan keju dan diberi remah-remah jamur kancing (champignon) yang renyah. Sebagai tambahannya adalah saus mentega chartreuse rasa hazelnut dan sejumput salad yang diletakkan di tengah piring bundar.
Sayangnya, daging bekicot ini terlalu lembut sehingga menimbulkan rasa tak nyaman di mulut. Bumbu bawang putih yang membalut jamur juga tidak membuat rasanya jadi lebih baik. Bahkan saus mentega yang merendam salad tak mampu berbuat banyak untuk memperbaiki rasa.
Berikutnya kami memesan Bitterballen (Rp 38 ribu) dari deretan sajian pembuka Indonesia yang dilabeli Hors d’ouvres. Tampilan menu ini centil. Tiga Bitterballen masing-masing diletakkan di cekungan sendok beling putih. "Presentasi menu pun kami usahakan terlihat nyeni," ujar Sian.
Bahan utamanya, olahan daging sapi, sangatlah lembut. Ukurannya tak terlalu besar, sehingga nyaman dikunyah. Aroma wangi dari Bitterballen ini bersumber dari minyak truffle yang berbaur dengan daging.