TEMPO.CO, Banyuwangi - Perburuan ular selesai. Ahong meletakkan dua karung transparan di halaman belakang UD Cobra Sakti, pusat kerajinan kulit ular di Jalan Raya Srono Rogojampi, Banyuwangi, Jawa Timur, Rabu 7 Januari 2015.
Di balik karung itu, delapan ular sanca kembang (Python reticulatus) menggeliat. Dua pekerja UD Cobra, kemudian mengambil reptil tersebut, mengukur panjangnya satu-persatu dengan penggaris. "Sebulan ini cuma dapat delapan ular," kata Ahong setengah menggerutu.
Ahong berburu ular sejak 1980. Dia mencari ular-ular itu ke sawah dan perkebunan mulai daerah Banyuwangi, Jember, dan Situbondo. Di luar Jawa, Ahong juga berjaringan dengan pemburu ular di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi.
Ular yang didapat kemudian dia pasok untuk pusat-pusat kerajinan kulit ular, salah satunya ke UD Cobra Sakti. "Satu meter ular harganya Rp 55 ribu," kata lelaki 65 tahun itu. UD Cobra Sakti yang berdiri sejak 1989, mengolah kulit ular menjadi berbagai produk fesyen mulai tas, jaket, sandal, ikat pinggang dan dompet.
Ahong bercerita, bahwa dia hanya memburu ular-ular yang tak dilindungi undang-undang seperti jenis sanca batik. Jenis sanca ini bisa bertelur antara 30-50 butir, sehingga ketersediaannya di alam melimpah. Sebagai pemburu ular, katanya, dia mengklaim telah mengkantongi izin dari Kementerian Kehutanan.
Selanjutnya: Pengolahan kulit ular