TEMPO.CO, Jakarta - Membaca koran dan buku pantang terlewatkan bagi Muhamad Ilyasa, 44 tahun. Sebuah buku catatan selalu mendampingi rutinitas hariannya itu. Setiap mendapati kosakata baru, dia menyalinnya di buku catatan itu. “Untuk memperkaya kosakata saya dalam membuat teka-teki silang,” ujar dia kepada Tempo, dua hari lalu.
Ilyasa merupakan editor di sebuah penerbitan swasta di Bogor. Namun, catat-mencatat tadi dia lakukan untuk pekerjaan sampingannya, pembuat teka-teki silang. Sepekan sekali, dia mengirim karyanya ke Koran Tempo. Meski menghabiskan seharian untuk satu teka-teki silang dengan 100 kata, dia mengatakan pekerjaannya itu tidak sulit. “Ini hanya untuk mengisi waktu dan hobi saja,” kata dia.
Hobi tersebut cukup menguntungkan. Satu karyanya dihargai Rp 250–500 ribu. “Tergantung banyaknya kotak dan kata-kata yang dirangkai, serta seberapa besar media yang mempublikasikannya,” ujar Ilyasa. Dia mengatakan seorang pembuat teka-teki silang biasa mengirim karyanya, yang berbeda-beda, ke beberapa media. Walhasil, mereka bisa dapat honor lebih banyak. “Tapi, belum bisa dijadikan penghasilan utama.”
Selain perlu memasukkan kosakata baru, Ilyasa mengatakan sering mendapat pesanan teka-teki silang dengan pertanyaan yang sesuai dengan berita terhangat. Misalnya, dua bulan lalu, saat konflik Komisi Pemberantasan Korupsi dan kepolisian meruncing. Bisa juga pesanan datang seiring dengan hari perayaan, misalnya Hari Kartini. “Yang memusingkan, jika kosakata yang berkaitan itu terlalu panjang, sehingga kehabisan kotak,” ujar dia.
Meski kerap pusing dalam berkarya, para pembuat teka-teki silang mengaku keranjingan. Wachyono, pembuat teka-teki silang lain, mengatakan pekerjaannya itu menuntutnya untuk tidak berhenti membaca. Karyawan PT Mulia Keramik ini tidak berhenti setelah memelototi koran dan buku, tapi juga kamus Belanda, Jerman, dan Prancis. “Tapi pegangan wajib adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia,” kata dia.
Baca Juga:
Menurut Wachyono, membuat teka-teki silang adalah pekerjaan yang mudah, bagi yang menyukainya. Dia mengklaim dapat menyusun satu edisi—r ata-rata 15 sampai 21 kotak—hanya dalam dua jam.
“Orang yang suka TTS biasanya karena hobi. Bagaimana mau membuat TTS kalau mengisinya saja tidak suka?” kata Wachyono. Dia meyakini teka-teki silang tidak hanya ampuh untuk membunuh waktu, tapi juga mencegah kepikunan. Bagi Wachyono, momen yang paling asik dalam mengisi TTS ini apabila memecahkan satu pertanyaan kunci yang biasanya baru terpecahkan saat kotak hampir terisi semua.
Teka-teki silang ditemukan oleh Sir Arthur Wynne, yang terbit di majalah New York World pada 2 Desember 1913. Karyanya itu kemudian menjadi fitur utama di majalah tersebut, hingga terbit buku kumpulan TTS pertama pada 1924.
Di Indonesia, teka-teki silang mulai populer pada akhir 1960-an. Satu perintisnya adalah Rumeli Moeshar yang menuangkan karyanya di Kompas sejak 1968. Rumeli, 70 tahun, meninggal di Jakarta, Februari lalu. Sampai akhir hayatnya, insinyur mesin dari Universitas Atmajaya itu terus menyusun teka-teki silang di harian yang sama.
Wachyono mengatakan almarhum Rumeli masih tercatat sebagai ketua Himpunan Pembuat Teka-teki Silang Seluruh Indonesia (Hipetsi). “Sejak Pak Rumeli meninggal, belum ada penggantinya,” ujar dia. Organisasi tersebut memiliki anggota 35 orang.
Di samping Hipetsi, ada juga Pagar Kaki Langit alias penggemar teka-teki silang sulit. Selain markas utama mereka di Jalan Raung nomor 7, Semarang, komunitas ini memiliki cabang di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
CHETA NILAWATY