TEMPO.CO, Malang - John Paterson, 56, seorang warga Australia, berperan besar merawat dan menyalin naskah kuno sejak 1980 silam. Berawal dari tugas disertasi untuk program doktoral di Universitas Sebelas Maret (UNS), dia bersama alumni UNS lain mendirikan Yayasan Sastra Lestari (Yastri) Solo pada 1997.
"Kami melakukan digitalisasi naskah klasik," kata pegawai Yastri, Abdi Utami, saat pameran di Universitas Brawijaya Malang, Rabu 16 Agustus 2015.
Yastri mempekerjakan enam orang untuk melakukan alih aksara dan merawat naskah kuno. Naskah yang telah digital antara lain serat centini yang memindai naskah asli di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Adapun naskah paling tua adalah Serat Dhamarwulan ditulis 1810.
"Seluruh biaya operasional berasal dari John, tak ada bantuan dari pemerintah," kata Abdi.
Selain ke perpustakaan, Abdi mengungkapkan, koleksi naskah kuno diperoleh dengan berburu ke sejumlah pasar loak Triwindu (Ngarsopuro) dan Alun-Alun. Saat itu, katanya, naskah klasik yang tak ternilai harganya ini dijual murah. Naskah klasik tersebut berserakan dan dikhawatirkan rusak. Padahal naskah itu berguna untuk ilmu pengetahuan.
Mereka melakukan digitalisasi dan alih aksara agar bisa dibaca dan dipahami khalayak. Seluruh naskah, katanya, ditulis dengan aksara Jawa secara manual maupun menggunakan mesin cetak. Dari 800 an naskah koleksi John, baru sekitar 30 persen yang berhasil digitalisasi. Hasil alih aksara tersebut diunggah ke situs www.sastra.org.
Siapapun, katanya, bisa mengakses dengan gratis. Sebagian besar yang menggunakan hasil alih aksara merupakan akademikus, mahasiswa dan peneliti. Tak hanya akademisi di Indonesia juga datang dari Amerika, Belanda, Australia dan negara-negara di Eropa.
EKO WIDIANTO