TEMPO.CO, Frankfurt - Susurilah Jalan Schaumankai di jantung kawasan kota tua Frankfurt. Jalan yang terletak di tepi sungai Frankfurt itu terkenal sebagai jalan museum, karena di situ terdapat deretan museum-museum. Cobalah masuk Stadel Museum. Museum itu kini tengah memperingati 200 tahun hari jadinya. Museum ini tersohor dengan koleksi-koleksi lukisan klasik Eropa: Rembrant, Boticelli, Vermeer, Van Eyck Renoir.
Atau masuklah ke Museum fur Angewandte Kunst. Di museum kontemporer ini sekarang tengah diselanggarakan Bienalle Frankfurt dengan tema: Expanded Senses. Brian Eno, komponis kontemporer Inggris yang sering bekerja sama dengan David Bowie, U2, Talking Heads, dan David Byrne, menjadi bintang bienalle. Ia menampilkan restropeksi karyanya berjudul My Life in Light.
Brian Eno dikenal sebagai seorang pelukis bunyi. Dalam Bienalle Frankfurt ini ia mendapat sebuah ruangan tersendiri yang menampilkan instalasi video dan bunyinya.
Menjelang Frankfurt Book Fair pada 14-18 Oktober 2015, di mana Indonesia menjadi tamu kehormatan, beberapa museum di sepanjang Jalan Schaumankai ini menyajikan program Indonesia. Masuklah ke Deutsches Architektur Museum atau museum arsitektur. Di lantai tiga terdapat pameran bertajuk Tropicality Revisited yang dikuratori oleh Avianti Armand dan Setiadi Sopandi.
Di museum ini disajikan karya-karya para arsitek muda Indonesia dalam bentuk foto, maket dan video digital. Ditampikan misal rumah arsitek Eko Prawoto Rumah Baca di bandung garapan Achmad Tardiyana atau restauran Almarik di Gili trawangan Lombok yangdidesain EFF Studio.
Keluar dari Deutsches Architektur, masuklah ke Deutsches Filmmuseum yang bersebelahan gedungnya. Di sini ada festival film Indonesia yang dikoordinir oleh Slamet Rahardjo. Bertema Archipelago in Motion, parade film ini diawali pemutaran film Lewat Jam Malam karya Usmar Ismail pada 6 Oktober lalu.
Selanjutnya sampai akhir Oktober nanti bakal ditayangkan film-film antara lain Cut Nyak Dien karya Eros Djarot, Sang Pencerah karya Hanung Bramantyo, Tabula Rasa karya Adriyanto Dewo, The Raid karya Gareth Evans, Cahaya dari Timur karya Angga Dwimas Sasongko, dan Sebelum Pagi Terulang Kembali karya Lasja F Susatyo.
Direncanakan ada berbagai diskusi tentang film Indonesia yang menampilkan di antaranya Erros Jarot, Faozan rizal, dan Lasja F Susanto. Erros khusus membahas politik dalam film Indonesia.
Keluar dari Deutsches Architektur Museum berjalanlah lagi. Tak jauh dari situ ada museum bernama Weltkulturen Museum. Di situ ada pemusik Wukir Suryadi,yang melakukan residensi selama hampir sebulan. Wukir, musisi asal Malang ini dikenal karena kemampuannya membuat alat musik dari benda-benda apa pun.
Untuk pertunjukan Melati Suryodarmo berjudul Sysyphus pada Sabtu, 11 Oktober nanti misalnya, di Frankfurt LAB Wukir membuat instrumen gesek dari gaharu . Khusus di Weltkulturen Museum dia akan membuat alat alat musik berdasarkan barang-barang atau benda-benda dari Indonesia yang dikoleksi oleh Weltkulturen Museum.
Pada 11 Oktober, di museum itu Wukir akan memamerka instrumen-instrumen musik ciptaannya. Sementara pada 16 Oktober, dia akan melakukan perfomance berjudul Danceable Perfomance. Penonton harus membayar 5 euro. “Benda-benda dari Solor dan alat tenun dari Batak akan saya jadikan instrumen musik,” kata Wukir.
Selain Wukir, di Weltkulturen Museum, pada 16 Oktober ada diskusi mengenai bagaimana mendokumentasikan musik daerah Indonesia bersama etnomusikolog Philip Yampolsky dan Endo Suanda. Dan pada 17 Oktober, penyair Afrizal Malna akan membacakan sajak-sajak dari kumpulan puisinya Teman-temanku dari Atap Bahasa.
SENO JOKO SUYONO (FRANKFURT)