TEMPO.CO, Jakarta - Nilai seni dan keindahan batik membawa Fusami Ito menemukan jalan hidupnya. Perempuan Jepang itu memutuskan belajar membatik ke Solo pada 1970-an dan menekuninya sampai sekarang.
Ia pertama mengenal batik saat duduk di sekolah menengah atas, ketika gurunya yang baru pulang dari Indonesia membawa kain batik dan menunjukkannya kepada semua murid. "Dari situlah saya mulai tertarik dengan batik," kata Ito, yang sampai sekarang masih sering bolak-balik Jepang-Solo.
Baca juga:
Selepas SMA, perempuan kelahiran 18 Maret 1950 itu sempat mengenyam pendidikan seni rupa di Universitas Seni dan Desain Joshibi. Dia belajar membatik di Laweyan, Solo, Jawa Tengah, sekitar tahun 1970-an. Setiap tahun tinggal di Laweyan selama dua hingga delapan bulan sepanjang 1977 sampai 1985 untuk belajar batik.
"Di Laweyan saya belajar membatik di rumah Pak Martodiwarno yang masih keluarga pembuat batik. Saya ikut tinggal di rumahnya dan Beliau pun banyak mengajarkan saya cara membatik, termasuk bagaimana membuat batik sogan," kata dia.
Ito menuturkan, kala itu dia cukup mengejutkan orang-orang Solo karena datang dalam keadaan sedang mengandung delapan bulan dan membawa serta seorang anak lelakinya yang berumur lima tahun.
Namun itu tidak menyurutkan niatnya untuk mempelajari kain batik, yang menurutnya memancarkan energi tersendiri. Rangkaian pola-pola rumit berupa bunga, tumbuhan, atau hewan yang digambar dengan pengaturan artistik unik pada sehelai kain, bagi Ito merupakan gambaran dunia yang diekspresikan dengan kreativitas tinggi lewat aneka motif dan warna.
Kesukaan pada batik mendorong Ito terus berkarya dan baru-baru ini memperkenalkan jenis batik Renaissance, yang memadukan desain tradisional Indonesia dengan materi berkualitas tinggi.
"Ini sebuah terobosan baru, renaissance sendiri berarti kelahiran kembali. Jadi dengan tetap mempertahankan nilai-nilai tradisional Indonesia, saya mendesain batik yang disesuaikan dengan selera pasar internasional, dalam hal ini Jepang," ujar Ito pada acara prapameran batik rancangannya di Kediaman Duta Besar Jepang di Jakarta, Minggu. 11 Oktober 2015.
Selain untuk memperkenalkan batik Indonesia ke pasar dunia, perempuan Ketua Asosiasi Seniman Lintas Budaya (CCAA) itu mengatakan proyek batik Renaissance dapat membantu meningkatkan taraf hidup pengrajin batik, khususnya yang masih menggunakan teknik klasik seperti batik tulis dan batik cap.
Ito mengaku mengkhawatirkan nasib kedua jenis batik itu karena sekarang kain batik yang dibuat menggunakan mesin cetak lebih mendominasi pasaran daripada kain batik klasik yang memiliki nilai seni dan nilai jual lebih tinggi.
"Kebanyakan yang masuk ke Jepang itu batik printing yang harganya murah. Saya ingin memperkenalkan ke masyarakat Jepang bahwa batik itu bermacam-macam jenisnya, saya mau mempromosikan batik bernilai seni tinggi yang pembuatannya lebih sulit dan harganya tidak murah sebab kita harus menghargai karya para pengrajin batik tulis yang mulai terpinggirkan," tuturnya.
Rancangan batiknya yang kebanyakan bermotif bunga dengan warna-warna lembut seperti merah muda, kuning, abu-abu, dan biru muda, menurut Ito, disesuaikan dengan selera orang-orang Jepang dan di antaranya ada kain batik yang khusus dibuat untuk dijadikan kimono.
Ito, yang pernah belajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, pun menggunakan bahan-bahan yang ramah lingkungan dalam pembuatan batik. "Saya merancang batik yang dikerjakan oleh para pengrajin di tiga tempat yaitu di Solo, Madura, dan Pekalongan. Tapi khusus untuk proses pencelupan dilakukan di Solo karena saya harus melihat langsung dan mengontrol teknik serta kualitas bahan yang digunakan untuk mencelup batik," tuturnya.
Tak kurang dari 250 koleksi batik Renaissance karya Fusami Ito dipamerkan di salah satu pusat belanja Jakarta. Harganya tergolong mahal karena dibuat menggunakan kain dari Jepang dan pembuatannya membutuhkan waktu hingga 1,5 tahun.
Sebagai gambaran, kain batik dua sisi sepanjang empat meter dijual dengan harga Rp10 juta sampai Rp25 juta, dan batik untuk kimono dengan lebar 30 sentimeter dan panjang 12 meter dijual dengan harga antara Rp20 juta dan Rp60 juta sesuai dengan jenis bahan dan tingkat kesulitan dalam pembuatannya.
Promosi Batik