TEMPO.CO, Jakarta - Donald Trump kembali memicu sensasi. Kali ini novel berjudul 1984 karya George Orwell, yang berkisah tentang masa depan distopia di bawah rezim otoriter, kembali muncul sebagai buku terlaris dan sedang dicetak ulang pada beberapa dasawarsa setelah ditulis.
Kemunculan kembali buku itu bertepatan saat para pembaca mencoba memahami penjelasan pemerintah Presiden Amerika Serikat Donald Trump tentang "fakta alternatif". Buku itu, yang pertama kali diterbitkan pada 1949, menyebutkan pemerintah "Big Brother" yang memata-matai warga dan memaksa mereka "berpikir ganda" atau secara bersamaan menerima versi bertentangan dari kebenaran.
Baca juga: Apa Kata Rano Karno Tentang Seba Baduy?
Penjualan novel itu melonjak setelah seorang pejabat senior Gedung Putih, Kellyanne Conway, menggunakan istilah "fakta alternatif" dalam acara NBC, Meet the Press, Minggu. Mereka mendiskusikan jumlah kerumunan orang dalam pelantikan Trump. Beberapa komentator menyebut komentarnya sebagai "Orwellian".
Pada Senin, 23 Januari 2017, novel karya penulis Inggris itu masuk daftar sepuluh buku terlaris Amazon yang diperbarui setiap jam. Pada Rabu, 24 Januari, buku itu bertengger di puncak daftar. Menanggapi minat baru tersebut, Signet Classics menyatakan, penerbitnya memerintahkan pencetakan ulang 75 ribu buku pekan ini.
Seorang juru bicara perusahaan mengatakan kepada CNN pada Selasa malam itu bahwa buku tersebut akan dicetak ulang lebih dari biasanya.
Conway dalam acara bincang-bincang itu menanggapi tuduhan bahwa pemerintah Trump terpaku pada ukuran jumlah kerumunan orang dalam pelantikannya. Ia mengatakan pihaknya merasa terdorong untuk berkomentar serta menjelaskan dan menempatkan fakta alternatif di luar sana.
Di tengah kritik luas atas istilah itu, Merriam-Webster menantang mantan manajer kampanye Trump tersebut. "Fakta adalah bagian dari informasi yang disajikan karena memiliki realitas obyektif," kicau penerbit kamus itu di akunnya.
Setelah pelantikan Trump sebagai presiden ke-45, ribuan perempuan turun ke jalan di berbagai kota di negara-negara Eropa. Mereka bergabung dengan "saudara-saudara" mereka di Asia yang melancarkan aksi untuk menentang Trump.
Dengan mengibar-ngibarkan spanduk bertulisan "Hubungan khusus, katakan tidak" dan "Perempuan kotor bersatu", para pengunjuk rasa berkumpul di luar Kedutaan Besar Amerika Serikat di Lapangan Grosvenor di London sebelum mengarah ke Lapangan Trafalgar untuk mengikuti demonstrasi.
Di seluruh dunia, ada 670 protes yang direncanakan digelar. Para penyelenggara mengatakan diperkirakan lebih dari dua juta orang akan berunjuk rasa menentang Trump. Banyak pesohor, termasuk aktivis Bianca Jagger, penyanyi Charlotte Church, dan aktor Ian McKellen menyatakan dukungan mereka terhadap aksi protes di media sosial.
Di Eropa, aksi unjuk rasa juga berlangsung di Berlin, Paris, Roma, Wina, Jenewa, dan Amsterdam. Unjuk rasa di Wina, menurut perkiraan kepolisian dan penyelenggara, diikuti 2.000 orang. Namun suhu di bawah 0 derajat Celsius secara cepat mengurangi jumlah orang tersebut hingga hanya ratusan orang.
Di Afrika, ratusan orang menggelar unjuk rasa di hutan Kota Nairobi, Karura Forest. Mereka melambai-lambaikan poster serta menyanyikan lagu-lagu protes Amerika. Salah seorang peserta unjuk rasa, Emily McCartney, 28 tahun, mengatakan dia merasa presiden baru Amerika Serikat tidak menghormati hak perempuan dan kaum gay.
Banyak pengunjuk rasa juga merasa marah atas komentar Trump terkait dengan pendatang dan muslim. Juga ketidaktertarikan pengusaha properti New York itu terhadap masalah lingkungan.
Donald Trump juga memicu amarah di Sydney, kota terbesar Australia. Sekitar 3.000 perempuan dan laki-laki melancarkan protes di Hyde Park sebelum berjalan menuju konsulat Amerika Serikat di pusat kota. Menurut para penyelenggara, 5.000 orang juga mengikuti demonstrasi di Melbourne.
“Di Selandia Baru, aksi unjuk rasa berlangsung di empat kota dan diikuti sekitar 2.000 orang,” kata petugas penyelenggara bernama Bette Flagler kepada Reuters.
Unjuk rasa Trump juga terjadi di kota lain di Asia, antara lain di Tokyo yang diikuti ratusan orang, termasuk para pekerja asal Amerika Serikat.
ANTARA
Baca juga:
Tradisi Bersantap Yee Sang Saat Imlek, Ini Cara Makannya!
Denny Indrayana Jadi Sopir, Ini Penjelasan Psikolog