Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Perokok Belia, Tanya Kenapa?

image-gnews
Perokok muda
Perokok muda
Iklan
TEMPO Interaktif, Jakarta:ADEK, ini nama samaran. Belum genap delapan tahun. Kelas tiga di sebuah SD swasta di Pondok Indah, Jakarta. Sudah lihai ia merokok. ”Awalnya, sih, batuk-batuk. Sekarang sudah oke,” kata si buyung tersenyum. Bangga. Orang tua Adek kecil tak pernah tahu rokok sudah menjadi teman dekat putra tunggal mereka selama setahun terakhir. ”Rahasia, dong,” katanya.

Adek punya banyak kawan. Lihatlah hasil riset Global Youth Tobacco Survey (GYTS), yang digelar Badan Kesehatan Dunia (WHO). Survei terbaru, 2006, menunjukkan bahwa Indonesia memiliki 24,5 persen buyung dan 2,3 persen upik (usia 13-15 tahun) yang perokok. Sebagian, 3,2 persen anak, sudah masuk tahap kecanduan. ”Risiko terkena berbagai penyakit saat tumbuh dewasa telah menanti,” kata Tjandra Yoga Aditama, pulmonolog dari Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta. Berbagai jenis kanker, terutama pada esofagus dan paru, adalah risiko yang tak bisa dianggap enteng.

Penelitian terpadu yang digelar Universitas Andalas, Universitas Padjadjaran, dan Universitas Gadjah Mada juga menghasilkan gambaran yang tak kalah seram. Pada 2000, anak-anak baru merokok dalam usia 12 tahun. Lima tahun kemudian, perokok belia diketahui mengawali debut berisiko ini pada usia tujuh tahun. Populasi anak yang jadi perokok pun bukan main, 30-40 persen di kota-kota besar. ”Sangat memprihatinkan,” kata Tubagus Rachmat Sentika, dokter ahli anak yang pernah menjabat Deputi Perlindungan Anak di Kementerian Pemberdayaan Perempuan.

Tubagus layak prihatin. Terlebih karena rokok sudah terbukti menjadi pintu pembuka bagi kecanduan yang lebih serius, yakni narkoba. Padahal, anak-anak inilah penentu kualitas bangsa di masa mendatang. Derajat kesehatan generasi masa depan ditentukan oleh jiwa-jiwa muda ini. Sudah seharusnya mereka tak boleh dibiarkan menjadi korban pemasaran industri rokok yang begitu agresif.

Pahit, memang. Anak-anak muda di seluruh dunia menjadi target bidikan industri rokok. ”Ini bukan omong kosong,” kata Judith Mackay, penasihat senior WHO, dalam sebuah konferensi tentang rokok dan kanker yang juga diikuti Tempo di Washington, AS, beberapa waktu lalu.

Segunung bukti tak terbantah menyokong pernyataan Mackay. Selama beberapa tahun terakhir, pengadilan Amerika Serikat memerintahkan dengan paksa agar industri rokok raksasa—BAT, Philip Morris (yang sekarang beraliansi dengan Sampoerna), RJ Reynold, Imperial, Gallaher, Altadis, JTI—membuka seluruh dokumen internal kepada publik. Ini terjadi setelah adanya berbagai gugatan ke pengadilan atas industri rokok.

Kini, setidaknya ada 7 juta lembar dokumen yang tersimpan di berbagai gudang berkeamanan tinggi di Amerika. Dokumen itu seluruhnya otentik, dibubuhi nomor barcode oleh pengacara setiap perusahaan rokok. Ragam dokumen yang juga tersimpan online dalam situs http://bat.library.ucsf.edu ini beraneka, mulai dari memo internal, uang saku ilmuwan yang sengaja ditugasi melemahkan argumentasi bahaya rokok, sampai lobi kepada petinggi pemerintah berbagai negara, termasuk Indonesia. Dalam satu dokumen, misalnya, tercatat bahwa salah satu industri rokok di Indonesia telah membelikan tujuh tiket Formula 1 untuk seorang anak pejabat ketika melobi penurunan tarif pajak.

Tumpukan dokumen otentik jelas tak bisa berdusta. Dari sanalah para ahli menggali bukti tentang betapa agresifnya industri membidik pasar muda. Tanpa tedeng aling-aling, raksasa rokok menyebut anak muda, istilahnya yaus atau young adult smokers, sebagai pasar yang wajib. Maklum, ”Pasar dewasa sudah jauh mengerucut. Sebagian sedang sekarat menuai penyakit, sebagian lainnya sadar dan berhenti merokok,” kata Mackay mengutip alasan kalangan industri.

Berbagai jurus pun diterapkan. Iklan di televisi dan media cetak dikemas dengan aduhai, menjadikan rokok berasosiasi dengan jiwa muda, dinamis, energetik, dan kreatif. ”Merokok itu keren,” begitu kata Adek, kawan kita si buyung kelas tiga SD. Risiko kesehatan, ah, itu soal abstrak bagi Adek.

Ada lagi trik yang sukses memancing perokok baru: pemberian label ”light”, ”mild”, ”natural”, ”low tar”, atau ”ultra-light”. Dengan sederet label ini, rokok dikesankan tidak kelewat berbahaya bagi kesehatan, efek negatifnya telah ditekan begitu rupa sehingga relatif aman bagi orang muda—terutama para gadis. Padahal, ”Itu semua bohong,” kata Matthew Myers, Presiden Campaign for Tobacco-Free Kids, lembaga nirlaba yang menyerukan pentingnya membebaskan anak dari rokok.

Sebuah riset yang dilakukan Departemen Kesehatan Masyarakat di Massachusetts, AS, menjadi bukti. Selama 1998-2004, industri rokok terus-menerus meningkatkan kadar nikotin pada produk mereka. Salah satu merek, misalnya, terbukti memiliki kandungan nikotin 20 persen lebih tinggi dibanding kadar enam tahun lalu. Kadar nikotin seluruh merek juga terbukti sama tingginya, tidak terkecuali yang berlabel light, mild, atau low tar.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Riset di atas, menurut Matthew Myers, menunjukkan betapa tak ada pengawasan dalam industri rokok. Kadar nikotin dinaikkan begitu saja tanpa diketahui publik. ”Mereka juga menambahkan zat-zat yang meningkatkan efek adiktif,” kata Myers. Walhasil, bisa dimengerti mengapa pecandu terus-menerus terperangkap dan susah melepaskan diri dari rokok.

Upaya mengontrol industri rokok pun selalu terbentur tembok. Bill Clinton, mantan Presiden AS, pernah mengusulkan agar industri rokok diatur oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA). Tapi kalangan industri rokok dengan mudah mementahkan usul ini. Akibatnya, ”Sampai sekarang tak ada yang berwenang mengontrol industri rokok. Ini seperti rimba tak bertuan,” kata Myers.

Sedikit titik terang memang muncul. Pada awal bulan ini, Gladys Kessler, hakim distrik AS, resmi memutuskan industri rokok bersalah. Industri rokok terbukti melakukan konspirasi menyampaikan informasi keliru dan membidik anak muda sebagai target pasar. Hakim Kessler juga memerintahkan industri rokok menghapus label ”low tar”, ”light”, ”mild”, atau ”ultra-light” yang menyesatkan itu dari kemasan rokok.

Sedihnya, keputusan hakim Kessler hanya berlaku di Amerika. ”Kami berharap negara lain bisa mengikuti langkah ini,” kata Ross Hammond, aktivis pengendalian rokok yang tinggal di San Francisco. Sudah waktunya kecanduan industri terhadap profit tanpa nurani ini dihentikan. ”Sudah terlalu lama masyarakat dikelabui,” katanya.

Angin segar yang dibawa hakim Kessler, mudah-mudahan, terbawa ke Indonesia. Kerja ekstrakeras memang dibutuhkan di negeri ini. Mewujudkan pengawasan lebih ketat pada industri rokok adalah urusan yang tidak gampang. Apalagi Indonesia sejauh ini adalah satu-satunya negara di Asia yang belum juga meratifikasi Kerangka Konvensi Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Conisa trol). Lobi kalangan industri cukup kuat, rupanya, untuk mencegah FCTC diratifikasi. ”Pemerintah dan parlemen harus terus kita tekan,” kata Tjandra Yoga Aditama.

Ada lagi isu yang juga serius. Tubagus Rachmat Sentika menekankan perlunya kita memiliki aturan khusus. ”Perlu undang-undang yang melarang anak-anak merokok,” kata Tubagus. Dengan adanya aturan ini, siapa pun yang memberi akses rokok kepada anak-anak bisa dikenai sanksi. Termasuk penayangan iklan yang agresif, strategi pemasaran yang tidak etis, juga orang tua atau guru yang justru memberi contoh merokok kepada anak didiknya.

Pada orang dewasa, Tubagus melanjutkan, merokok adalah pilihan. Mereka sudah memiliki peluru yang cukup untuk menimbang baik dan buruk risiko yang dihadapi. Tapi persoalan jadi lain jika menyangkut anak-anak. Jiwa-jiwa muda ini belum punya bekal untuk memilih masuk atau bebas dari perangkap nikotin. ”Itu sebabnya anak-anak harus kita lindungi dari rokok,” kata Tubagus, ”Tak ada diskusi.” (Majalah Tempo)

Mardiyah Chamim

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Polres Jayapura Tangkap Ceria yang Jual Sabu di Diaper MamyPoko

36 menit lalu

Badan Reserse Kriminal Polri (Bareskrim) menunjukkan alat bukti narkoba berupa sabu, narkotika, dan jenis obatan-obatan terlarang di gedung Mabes Polri, Jakarta Pusat, Rabu, 13 Maret 2024. TEMPO/Ihsan Reliubun
Polres Jayapura Tangkap Ceria yang Jual Sabu di Diaper MamyPoko

Polisi menangkap perempuan berinisial SJ alias Ceria, 43 tahun, karena menjual narkotika jenis sabu.


Operator Kereta Deutsche Bahn di Jerman Akan Melarang Merokok Ganja di Area Stasiun

4 hari lalu

Ilustrasi bahaya rokok/ganja. Shutterstock
Operator Kereta Deutsche Bahn di Jerman Akan Melarang Merokok Ganja di Area Stasiun

Operator kereta di Jerman Deutsche Bahn (DB) mengumumkan melarang merokok ganja di area-area stasiun per 1 Juni 2024.


Pakta Konsumen Nasional Minta Pemerintah Penuhi Hak Konsumen Tembakau

6 hari lalu

Petugas Bea dan Cukai tengah melakukan pengecekan pita cukai rokok di Kantor Bea dan Cukai, Jakarta, Selasa 19 Desember 2023. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyiapkan 17 juta pita cukai baru untuk memenuhi kebutuhan pada awal tahun 2024. Hal ini juga sejalan dengan penyesuaian tarif cukai hasil tembakau (CHT) pada tahun depan. Tempo/Tony Hartawan
Pakta Konsumen Nasional Minta Pemerintah Penuhi Hak Konsumen Tembakau

Pakta Konsumen Nasional meminta pemerintah untuk memenuhi hak konsumen tembakau di Indonesia.


Tersinggung Tak Diberi Utang, Pemuda di Kembangan Bakar Warung Rokok

19 hari lalu

Ilustrasi pedagang/warung rokok eceran. shutterstock.com
Tersinggung Tak Diberi Utang, Pemuda di Kembangan Bakar Warung Rokok

Tersinggung tak boleh utang rokok, pelaku membakar warung dengan melempar botol bensin dan tisu yang telah dibakar.


Pria di Medan Bunuh Ibu Kandung Gara-gara Kesal Diomeli karena Minta Uang Rokok

22 hari lalu

Wem Pratama, warga Jalan Tuba 3, Kota Medan, diamankan usai mengaku telah membunuh ibu kandungnya. TEMPO/Istimewa
Pria di Medan Bunuh Ibu Kandung Gara-gara Kesal Diomeli karena Minta Uang Rokok

Wem Pratama, 33 tahun, warga Jalan Tuba 3, Kota Medan, membunuh ibu kandungnya, Megawati, 55 tahun dengan memukul dan menggorok leher.


Spesialis Jantung: Hasil Pemeriksaan Medis Baik Tak Jamin Perokok Sehat

33 hari lalu

Seorang remaja melakukan tes kandungan karbondioksida dalam paru-paru saat konsultasi gratis dengan para ahli di tenda Kekasih (Kendaraan Konseling Silih Asih) Dinas Kesehatan Kota Bandung, 6 Mei 2018. Layanan ini memberikan konseling untuk berhenti merokok. TEMPO/Prima Mulia
Spesialis Jantung: Hasil Pemeriksaan Medis Baik Tak Jamin Perokok Sehat

Hasil pemeriksaan medis yang baik tak menjamin perokok sehat. Untuk memastikan kesehatan perokok satu-satunya jalan adalah total berhenti merokok.


Selandia Baru Larang Rokok Elektrik Sekali Pakai

37 hari lalu

Ilustrasi vape. sumber: AFP/english.alarabiya.net
Selandia Baru Larang Rokok Elektrik Sekali Pakai

Selandia Baru akan akan melarang penjualan rokok elektrik sekali pakai untuk menurunkan angka perokok usia muda.


Soal Lobi ke Istana, Bos Perusahaan Rokok Sebut Penyampaian Pendapat sesuai Aturan

48 hari lalu

13-terkaitHL-ilustrasi-penyakitKarenaRokok-bebaniKeuanganNegara
Soal Lobi ke Istana, Bos Perusahaan Rokok Sebut Penyampaian Pendapat sesuai Aturan

Faisal Basri menyatakan perusahaan rokok memiliki lobi-lobi yang kuat di lingkungan Istana dan pembuat undang-undang.


Produsen Rokok Bantah Lobi-lobi Pemerintah untuk Keluarkan Kebijakan Pro Rokok

48 hari lalu

Ilustrasi pedagang/warung rokok eceran. shutterstock.com
Produsen Rokok Bantah Lobi-lobi Pemerintah untuk Keluarkan Kebijakan Pro Rokok

Benny mengklaim industri rokok hanya melakukan komunikasi dengan pemerintah melalui jalur-jalur yang legal.


COP10 WHO FCTC Raih Sejumlah Kesepakatan, dari Perlindungan hingga Deklarasi Panama

52 hari lalu

Parade Mural Hari Kesehatan Nasional. Foto: Instagram FCTC Indonesia.
COP10 WHO FCTC Raih Sejumlah Kesepakatan, dari Perlindungan hingga Deklarasi Panama

Sesi kesepuluh Konferensi Para Pihak (COP10) Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau WHO FCTC menghasilkan sejumlah kesepakatan jangka panjang.