TEMPO Interaktif, Peristiwa bunuh diri yang terjadi di masyarakat di beberapa daerah belakangan ini menarik perhatian. Apalagi di Ibu Kota, dengan memperhatikan tempat dan motif penyebabnya, bunuh diri kini seolah menjadi tren. Betapa mudahnya menghabisi diri dengan cara, penyebab, dan pemilihan tempat yang menarik perhatian, lalu menjadi perbincangan publik.
"Kini masyarakat kita banyak yang sakit, mungkin menghadapi beban hidup yang makin sulit dan mengimpit.
Tak pelak lagi, bunuh diri menjadi alternatif untuk membebaskan diri," kata psikiater Suryo Dharmono pada sebuah seminar Kesehatan Jiwa yang berlangsung beberapa waktu lalu di Jakarta.
Pakar kejiwaan dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) ini menyebutkan, bunuh diri yang belakangan muncul merupakan bagian dari masalah kesehatan jiwa. Dia mengutip sebuah penelitian kecil di tempatnya, yakni berdasarkan jumlah Indonesia yang mencapai lebih dari 220 juta, diperkirakan terdapat 66 juta warga Indonesia pernah mengalami gangguan kejiwaan. Jumlah orang yang terkena dampaknya meningkat signifikan. "Gangguan masalah kejiwaan di Indonesia berdampak pada lebih dari separuh penduduk," ujarnya dengan nada prihatin.
Suryo mengutip data Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada 1990, yang melaporkan bahwa dari 10 masalah kesehatan utama penyebab disabilitas, lima di antaranya masalah kesehatan jiwa, yang meliputi depresi, alkoholisme, gangguan bipolar, skizofrenia, dan obsesif kompulsif. Badan Kesehatan Dunia ini memprediksikan pada 2020 mendatang, depresi akan menjadi penyakit urutan kedua dalam menimbulkan beban kesehatan.
"Gangguan kesehatan jiwa bukan soal sepele. Si penderita ini bisa menjadi ancaman serius bagi sebuah bangsa," katanya. Dia juga menerangkan, pasien yang mengalami gangguan kejiwaan mulai tingkatan ringan hingga parah saat ini jumlahnya meningkat 2 hingga 3 persen. Apalagi dengan kondisi Indonesia sekarang yang rawan bencana, tindak terorisme dan masalah sosial ekonomi yang tak kunjung surut sebagai faktor pemicu terjadinya gangguan kesehatan jiwa.
Menurut Suryo, penyakit jiwa merupakan gangguan kronis yang menyebabkan disabilitas dan memerlukan pengobatan jangka panjang. Di Indonesia cukup sering ditemui skizofrenia, bipolar, depresi, dan kecemasan. Sosialisasi yang minim dan belum berjalan dengan baik tentang ini mengakibatkan sebagian masyarakat belum menyadari dan mengenali masalah ini, serta bakal berdampak serius.
Dia mencontohkan pada kasus-kasus bipolar, yakni terdapat peralihan mood (perasaan) secara ekstrem sering terabaikan karena (dianggap) sebagai perubahan perasaan yang normal saja. "Di beberapa negara di Eropa bahkan sebagian besar orang harus melewati 5 hingga 10 tahun hingga akhirnya gejala yang mereka rasakan terdiagnosis sebagai gangguan bipolar," tutur Suryo.
Dia menerangkan, gejala gangguan bipolar dibedakan menjadi dua fase, yaitu fase manik, yakni mood seseorang sedang naik dan fase depresi, saat mood seseorang sedang turun. Saat mengalami fase manik, seseorang dapat melakukan tindakan yang tidak bertanggung jawab, seperti menghambur-hamburkan uang. Sedangkan saat mengalami fase depresi, seseorang dapat merasa sedih yang berlebihan, kehilangan semangat, bahkan ingin mencoba bunuh diri.
Adapun skizofrenia merupakan kelainan fungsi otak serius yang mengganggu cara seseorang untuk berpikir, bertindak, berekspresi, melihat realita, dan berhubungan dengan lingkungan sekitarnya. Skizofrenia membuat seseorang merasa ketakutan dan menarik diri. "Kelainan ini tidak dapat disembuhkan seperti diabetes atau alergi, tapi dapat dikendalikan dengan penatalaksanaan yang tepat. Memang gejalanya datang dan pergi. Ketika penderitanya sedang tidak mendapat 'serangan', mereka dapat menjalankan hidup relatif normal tanpa gangguan," Suryo menjelaskan.
Dia menggarisbawahi hal terpenting mengenali dan menyadari gejalanya, lalu menerima dan membantu mereka yang sakit supaya kembali dapat berfungsi menjadi anggota masyarakat. "Yang terjadi, masyarakat kita sering menyudutkan dan bersikap apriori terhadap yang sakit. Sikap begini justru akan memperparah kondisi si sakit. Dukungan berbagai pihak sebagai upaya pemulihan terpadu dan pelayanan kesehatan pada tingkat primer menjadi solusi bagi si sakit."
Stigma atau tindakan pengucilan terhadap si penderita atau yang tengah lara batin sering salah lantaran kurangnya informasi dan konotasi negatif bahkan dari keluarga terdekat. "Tindakan stigma dan pengucilan makin membuat si sakit terdesak, tersudut dan memperparah keadaannya," kata Suryo.
Menurut dokter Fadhlina dari Puskesmas Tebet, Jakarta, hingga saat ini tempatnya telah menangani pasien penderita gangguan kesehatan jiwa, mulai anak-anak, remaja, hingga orang dewasa, baik laki-laki maupun perempuan. Puskesmas, sebagai unit layanan kesehatan di ujung terdepan masyarakat, harus mampu memberikan informasi, pelayanan, dan membina kualitas kesehatan, baik fisik maupun mental. "Nah, penanganan pasien ini dampaknya menyeluruh, (yakni) aspek kehidupan pribadi, keluarga, dan lingkungan."
Fadhlina mengutip data di wilayahnya, tren jumlah penderita mengalami peningkatan. Hingga September 2009, tercatat 137 kasus psikotik, yang sebagian besar merupakan gangguan skizofrenia.
"Agak kaget juga awalnya. Namun kami, memahami pasien gangguan kesehatan jiwa menjadi potret kehidupan masa kini," ucap Fadhlina. Kini, yang terpenting ialah bagaimana mengupayakan terapi medis, sikap toleransi, serta memberikan dukungan dengan tulus, serius, dan bersungguh-sungguh dari banyak pihak.
HADRIANI P