TEMPO Interaktif, Jakarta - Yang perlu dicatat pertama kali adalah salah satu penyunting novel ini empu sastra sekelas Goenawan Mohamad--bersama penyair potensial Joko Pinurbo--sekalipun ini pasti bukan buku pertama yang dia sunting (buku investigatif yang saya tulis bersama Herry Barus, Para Superkaya Indonesia: Sebuah Dokumentasi Gaya Hidup, Institut Studi Arus Informasi, Jakarta, 1999, juga dia sunting tanpa harus menyebutkan namanya dalam kolofon). Yang tak kalah penting, novel ini memijak awal pengisahan pada pergolakan politik bersimbah darah di Indonesia yang terjadi sekitar 1965/1966--yang menurut saya jauh lebih banyak menghasilkan risalah dan kajian ilmiah ketimbang karya fiksi.
Dalam format fiksi, terutama novel, beberapa di antara yang tak banyak itu adalah Jentera Lepas (Ashadi Siregar, 1979), Mencoba Tidak Menyerah (Yudhistira A.N.M. Massardi, 1979; aslinya: Aku Bukan Komunis), Kubah (Ahmad Tohari, 1980), Para Priyayi (Umar Kayam, 1992), Jalan Menikung (Umar Kayam, 2002), serta beberapa gelintir lainnya.
Sementara karya ilmiah, risalah, disertasi, dan sejenisnya menitikberatkan kajian pada sisi politik, rata-rata novel cenderung menyoroti sisi sosial atau kemanusiaan. Itu sebabnya, novelet-novelet Sri Sumarah dan Bawuk (keduanya karya Umar Kayam, 1977) terkesan bersimpati kepada sosok-sosok yang berafiliasi pada ideologi komunis, tak serta-merta diartikan penulisnya bersetuju dengan ideologi termaksud, melainkan lebih bersimpati atau berempati kepada nasib seseorang yang menjadi korban pertikaian antar-ideologi besar.
Rata-rata novel dengan latar belakang atau bahkan tema utama tragedi 1965/1966 itu membatasi periodisasinya pada semasa semata. Hal ini bisa dimaknai bahwa para sastrawan itu seolah menengok sebuah dokumentasi masa lampau. Barangkali Jalan Menikung sedikit berbeda karena periode yang dikisahkan hingga terjadi pada masa kiwari atau masa kini. Dalam kalimat sedikit berbeda, dalam tataran pandangan dunia, novel-novel dengan latar dan tema macam itu bisa ditempatkan sebagai upaya pemahaman atas masa lampau dengan kesadaran masa kini.
Tinuk R. Yampolsky--yang dulu saya kenal sebagai penulis cerita pendek Tinuk Rosalia--dalam menulis novel Candik Ala 1965 tak berhenti menengok masa lalu yang penuh kegetiran itu. Ia juga memaparkan masa-masa belakangan, termasuk saat-saat menjelang Soeharto turun takhta karena gerakan reformasi yang merupakan bagian berkesinambungan dari masa-masa sebelumnya.
Jika dibagi dalam babakan kehidupan, sebagaimana babakan novel ini sendiri, bab awal mengambil setting tahun 1966/1967, disambung babak berikutnya terjadi pada 1976. Dua babak awal ini berfokus kisahnya pada sosok Nik dan bagaimana sosok Nik memandang persoalan sekelilingnya, terutama saat berusia 7 dan 10 tahun kemudian.
Dalam babak ketiga, yang diceritakan terjadi pada 1980-an, terutama pada 1983. Ada pergeseran posisi sosok Nik, sementara dalam dua babak awal Nik dinarasikan sebagai "dia" oleh penulis atau aku-liris, dalam babak ketiga ini yang menjadi "aku" adalah Nik itu sendiri. Aku-liris atau penulis entah ke mana melenyapkan diri.
Babak keempat, terjadi pada 1990-an, terutama 1993 dan April 1998, sebulan sebelum klimaks gerakan reformasi yang melengserkan Soeharto sebagai petinggi negeri yang terlama berpengalaman sebagai presiden. Dalam babak ini, sosok Nik tetap sebagai "aku". Lalu, pada babak penutup, yang tak diperinci kapan waktunya, bisa saja terjadi pada hari-hari belakangan atau bahkan detik ini, dan sosok Nik masih teridentifikasi sebagai "aku".
Pemilihan sudut pandang Nik sebagai gadis usia 7 tahun pada kecamuk politik 1965 sangatlah tepat. Pertama, dengan usia sedini itu--dan keluarganya sering memintanya masuk kamar, menyingkir, bila ada pertemuan dan perdebatan di ruang utama rumah keluarga--Nik cenderung tak tahu peta persoalan yang sedang terjadi sehingga keberpihakan pun terhindarkan, kendati kakak sulungnya dianggap "murtad" karena masuk organisasi onderbouw Partai Komunis Indonesia (PKI), sementara keluarganya memeluk Katolik.
Kedua, pengkarakteran usia belia juga memperkuat kejiwaannya jika sosok Nik kemudian senantiasa membawa trauma hingga dia dewasa, betapa pun kesehariannya cenderung apolitis. Trauma itu tidak muncul pada masa-masa sesudah pergolakan politik itu, bahkan saat itu juga Nik sudah kerap merasa jengah saat ada yang menuding kakaknya sebagai komunis, sementara ibu mereka meluruskannya sebagai "simpatisan"--sementara Nik tak paham makna simpatisan dan komunis(me) itu sendiri.
Sebagaimana dikatakan Goenawan Mohamad di halaman sampul belakang, tuturan kisah dalam buku ini terbilang lurus dan tanpa kelokan literer. Jika demikian halnya, memang bukan eksplorasi estetika itu yang diutamakan Tinuk, melainkan kisah itu sendiri yang lebih dipentingkan dan kisah termaksud adalah trauma sepanjang hayat itu.
Barangkali karena saking tiadanya ambisi literer, beberapa ungkapan bahkan terkesan sudah kerap dipakai berulang-ulang, macam "kota tak pernah tidur" atau "batang hidung"--semisal dalam kalimat-kalimat: "Ketiga saudara lelaki yang lain tak tampak batang hidungnya" (hlm. 26), atau "Bulan tak nampak batang hidungnya" (hlm. 98), atau "Pak Djo tak menampakkan batang hidungnya di warung" (hlm. 197).
Tentu terlalu menyederhanakan rumusan jika saya nyatakan bekas pengajar bahasa Indonesia selama 11 tahun di Yale University, Amerika Serikat, ini tak mengejar cara ucap. Beberapa kata yang berwarna lokal Jawa yang dia gunakan sesungguhnya menjadi indikasi bahwa bahasa Indonesia tak mampu menampung rasa bahasanya, atau bahasa Indonesia perlu lebih diperkaya. Kata-kata lokal, yang celakanya tak diberi keterangan dan penjelasan itu, antara lain menutuh, kemput, sunduk, rerunggutan, seblak, dan jinjau.
Ah, siapakah sesungguhnya Nik? Dalam novel ini, Nik antara lain disebutkan sebagai penari dan penyiar radio swasta di Solo. Nuk--dari Tinuk--juga saya tahu sebagai penyiar radio di kota yang sama. Penari jugakah Nuk? Saya tak sedetail itu mengenalnya. Yang jelas, Nuk kini bermukim di Champaign, Illinois, Amerika Serikat.
Veven Sp. Wardhana, penghayat budaya massa